Dia datang pagi-pagi, mengenakan jas rapi dan parfum bernama janji.
Ia mengetuk pintu lebih sopan dari harapan, namun lebih setia dari alasan.
Ia sesekali duduk di kursi makan,
menyesap teh hangat yang kau siapkan.
Untuk impian yang tak pernah datang.
Lalu tersenyum, seperti kawan lama yang paham.
Ia membaca pesan-pesan yang tak dibalas,
menandatangani laporan kerja yang tak dihargai,
menepuk bahumu tiap kali ucapan "terima kasih"
digantikan dengan "kan itu memang tugasmu, kan?"
Dia; Kecewa.
Ia tahu jadwalmu, ia muncul saat kamu tidak minta apa-apa, dan pulang saat kamu mulai terbiasa.
Ah, betapa dia tahu etika. Tidak pernah pamit, tapi tahu cara mengendap dalam dada.
"Jangan khawatir" katanya,
"Aku hanya singgah, seperti biasa"
Lalu, esok ia kembali. Menyamar sebagai harapan baru.
Yang telah belajar mengecewakan lebih halus lagi.