Cherreads

Chapter 14 - Bab 14 - Mandaka Rasa, Jiwa Keberanian

Perjalanan panjang mereka akhirnya hampir mencapai tujuan awal. Di hadapan, hamparan dataran tinggi menjulang dalam sunyi yang meresap. Kabut tipis melayang di antara pohon-pohon tua, akarnya mencengkeram tanah yang ditumbuhi lumut merah pekat. Warna yang seolah menyerap cahaya dan kehangatan dari dunia sekitarnya.

Inilah Kawah Tanding, wilayah tenggara Swantara. Tanah terlarang dalam bisik-bisik legenda. Tempat artefak suci Mandaka Rasa, keris jiwa keberanian, dikabarkan tersembunyi. Di tengah lingkaran pohon dan batuan lapuk, berdiri sebuah altar batu tua. Retak-retak di permukaannya bersinar samar, seolah menyimpan nyala yang telah lama padam.

Saat mendekat, Cakra Adhiwara di tangan Reina bergetar pelan. Getaran itu bukan dari suhu, bukan dari angin, tapi dari resonansi, seolah sang artefak kuno menyambut kehadiran saudara tuanya.

Reina menelan ludah. Kagum. Gentar. Dada dan langkahnya terasa berat, seakan tempat ini mengenal setiap pikiran terdalamnya. Namun sebelum kaki mereka menjejak lebih jauh, semak-semak di sisi kanan bergerak liar. Erangan kasar yang basah dan berat menggelegar dari balik pepohonan.

“Cakar Pulas,” desis Radeeva. “Serigala penjaga. Dua kepala. Satu napas, dua gigitan. Jangan remehkan dia.”

Refleks, Bhirendra menarik Reina ke belakangnya, lagi dan lagi menjelma perisai diam tanpa diminta.

Radeeva menoleh cepat. “Jaga jarak, Reina.”

Dari semak, sesosok besar menerjang. Serigala setinggi bahu manusia, dengan dua kepala yang saling menyeringai. Liur kehijauan menetes dari taring-taring bengkoknya. Mata mereka merah menyala, bergerak liar dalam amarah abadi.

Bhirendra bergerak pertama. Pertarungan berlangsung sengit. Ia menari dalam gelap, seperti bayangan yang tak pernah bisa ditangkap. Tapi Cakar Pulas bukan makhluk biasa, cakarnya melesat, menyayat lengan kiri Bhirendra hingga darah menyembur deras. Namun dengan sekali tebasan pedangnya, makhluk itu tumbang dalam raungan panjang yang bergema hingga lereng kawah.

“Bhirendra!” seru Reina panik, berlari mendekat. Ia menjatuhkan diri di samping pria itu, mengangkat tangan dan membisikkan mantra sihir penghilang rasa sakit. Kilau lembut menyelimuti luka itu... namun tak satu pun tetes darah berhenti.

“Salah mantra, Reina,” komentar Radeeva ringan, menyilangkan tangan. “Ia butuh penyembuhan, bukan sekadar mati rasa. Kalau terus seperti ini, tumbal ini bisa mati konyol.”

Dengan nada malas, namun tetap sigap, Radeeva mengulurkan tangannya. Cahaya kehijauan menyelimuti luka itu, menutup daging yang terkoyak. Akan tetapi, racun dari liur Cakar Pulas telah lebih dulu menyusup ke aliran darah.

Bhirendra tidak mengeluh. Ia hanya menggertakkan gigi, rahangnya mengeras menahan nyeri yang menjalar seperti bara di bawah kulit.

Saat ketegangan mereda, hawa di sekitar altar berubah drastis. Dari balik kabut, api perlahan menyala. Bukan api biasa, api yang berbentuk mata tunggal mengambang, bersinar menyala dari pusaran panas di udara. Sosok itu menjelma dari bara: tinggi, menyala, dan tak berwajah kecuali satu mata merah menyala di tengah dahinya.

Rasagni, sang penjaga Mandaka Rasa, kini berdiri di hadapan mereka.

“Salah satu dari kalian harus maju,” suaranya berat dan dalam, seperti bara yang bergulung dalam tungku besi. “Keris ini bukan untuk tangan yang lemah... tapi untuk jiwa yang menatap ketakutannya sendiri tanpa gentar.”

Ketiganya saling berpandangan. Reina menahan napas. Bhirendra berdiri kaku, masih menahan racun yang menjalar dan Radeeva, ia melangkah maju tanpa suara. “Aku,” katanya pendek.

Dalam sekejap, dunia di sekitarnya menghilang, digantikan oleh ruang batin... dan ujian yang tak bisa dihindari.

Cahaya menyilaukan menelan tubuh Radeeva dalam sekejap. Reina dan Bhirendra tersentak namun hanya bisa mematung. Sang pangeran muda kini berdiri membeku di tempat, matanya tertutup rapat seolah tertidur sambil berdiri. Hawa di sekelilingnya sunyi, namun penuh tekanan tak kasatmata.

Radeeva telah masuk ke dalam ruang batin, alam ilusi yang dibentuk oleh Rasagni untuk menguji jiwa keberanian. Di dalamnya, tidak ada pedang. Tidak ada sihir. Hanya kenyataan yang selama ini ia kubur dalam diam... kini meledak, menyeretnya kembali pada luka yang belum pernah sembuh.

Ia berdiri di tengah lorong istana. Lorong itu dingin dan redup, diterangi cahaya pelita yang bergoyang pelan. Udara di sekitarnya dipenuhi bayangan-bayangan masa lalu.

Tiba-tiba, suara jeritan terdengar. Jeritan seorang wanita paruh baya, parau dan memohon.

“Ja-jangan…”

Radeeva mengenal suara itu. Sasavati. Nama yang tertanam dalam hatinya sebagai ibu meski tak sedarah. Seorang abdi istana rendah yang dulu mengasuhnya sejak kecil, yang lebih dari sekadar pelayan. Dialah satu-satunya pelindung Radeeva dari dinginnya tembok kekuasaan.

Tubuh Sasavati tergolek di ujung lorong, gemetar, matanya membelalak ketakutan dan di hadapannya berdiri sosok yang tak asing. Bhirendra, dalam versi mudanya. Tatapannya dingin, kosong, seperti bayangan kematian. Tangannya mencengkeram pedang panjang yang berkilau, siap menebas.

“Tidak! BERHENTI!” Radeeva berteriak, melompat secepat yang ia bisa. Tapi, langkahnya terasa berat. Seolah lorong itu menjulur tak berujung. Seolah waktu mempermainkannya.

Sabetan pedang meluncur dan darah mengalir cepat, memenuhi lantai batu. Tubuh Sasavati terkulai, nyawanya lenyap begitu saja. Radeeva jatuh berlutut, menjerit. Suaranya pecah, napasnya tercekat. Tangannya menengadah ke langit-langit lorong yang tak menjawab, tak memberi ampun. Ia mengamuk, menghantam dinding, meraung bagaikan anak kecil yang kehilangan seluruh dunia dalam sekejap.

Tetapi, ujian belum selesai. Lorong berganti. Dunia runtuh. Gelap menyelimuti, digantikan cahaya dingin dari singgasana besar.

Kini ia berada di aula istana. Di hadapannya, Maharaja duduk tinggi di singgasananya, mata penuh penilaian dan dingin. Di sekeliling, para saudara tirinya berdiri, mencibir.

“Lemah.”

“Tak pantas jadi pewaris.”

“Hanya bisa main sihir, bukan lelaki sejati.”

“Lihat Bhirendra. Itu baru ksatria!”

Kata-kata itu menghujam seperti anak panah. Radeeva mengepalkan tangan, tubuhnya gemetar menahan kemarahan dan rasa hina. Ia berusaha bicara. Tapi setiap kata tertelan. Suaranya tak keluar, seperti tenggelam dalam lumpur harga diri yang dihancurkan sejak kecil dan di sudut ruangan, bayangan Bhirendra berdiri lagi—selalu berdiri, selalu menjadi pusat pujian, cahaya, dan kekaguman.

Radeeva menunduk.

“Kau akan selalu menjadi bayangan, Radeeva.” suara Rasagni menggema entah dari mana. “Pertanyaannya... bisakah kau menerima itu, dan tetap berdiri? Atau akan terus membenci?”

Napas Radeeva tercekat. Tapi kali ini, ia tidak menjawab dengan raungan atau amarah.

Ia berdiri perlahan, menatap sosok Bhirendra muda di seberangnya. Napasnya berat, matanya masih merah, namun dalam sorotnya mulai menyala api kecil. Api keberanian untuk menatap luka, bukan menghindar darinya.

“Aku… tidak harus jadi dia,” gumamnya. “Aku hanya perlu menjadi… diriku sendiri.”

Dan pada detik itu, ilusi runtuh dalam cahaya menyilaukan.

---

Di dunia nyata, tubuh Radeeva terangkat sedikit dari tanah. Cakra Adhiwara bersinar pelan di tangan Reina, merespons ujian yang baru saja dilewati.

Rasagni menatapnya, diam sejenak… lalu mengangguk. “Jiwamu telah terbakar dan tidak hancur. Mandaka menerima keberanianmu.”

Dari dalam altar, sebuah keris berukir hitam dan merah, Mandaka Rasa, melayang perlahan menuju Radeeva. Tetesan api di bilahnya menyala lembut seolah menyatu dengan emosi pangeran muda itu dan untuk pertama kalinya, Radeeva menggenggam senjata, bukan untuk bertarung… tapi untuk memaafkan dirinya sendiri.

Rasagni, sosok siluman api bermata satu itu, menatap Radeeva untuk terakhir kalinya. Api di tubuhnya mulai meredup, lalu membubung menjadi serpihan cahaya yang halus dan panas. Dalam pusaran nyala yang mengecil, ia perlahan memudar, menyatu ke dalam Cakra Adhiwara di jari Reina, tempat para penjaga takdir disegel.

Bersamaan dengannya, Mandaka Rasa, sang keris jiwa keberanian, bergetar ringan… lalu perlahan melayang, ditarik oleh kekuatan yang sama. Senjata itu berpendar sebelum akhirnya tersedot masuk ke dalam cincin Reina, seolah menyatu dengan garis takdir yang sedang menanti waktu untuk dibuka.

Keheningan menyelimuti Kawah Tanding. Tapi detik berikutnya, terdengar suara berat yang menyesakkan dada, Bhirendra. Ia memucat tajam, tubuhnya limbung, dan dari mulutnya muntahan darah segar mengalir deras, membasahi tanah lumut merah yang tampak semakin pekat. Tangannya bergetar, berusaha menekan bagian dada kiri, titik di mana racun Cakar Pulas menyebar tanpa ampun.

“Bhi…” suara Reina tercekat.

Tubuh Bhirendra bergetar hebat, seperti menahan badai dari dalam tubuhnya. Ia berusaha tetap berdiri. Namun sorot matanya kabur, nafasnya terengah, dan gerakannya menjadi kacau. Beberapa kali ia mencoba mengatur aliran energi internalnya, namun tak berhasil. Luka itu... terlalu dalam.

“Radeeva!” teriak Reina panik. “Apa yang harus kulakukan?! Tolong bantu aku! Dia sekarat!”

Tapi Radeeva hanya berdiri di kejauhan. Tatapannya kosong, membeku oleh sisa-sisa rasa sakit yang dibangkitkan Rasagni. Wajahnya keras, seperti menyimpan kemarahan yang tertahan.

Ia tidak menjawab. Tidak juga bergerak.

Reina mendekat beberapa langkah, menggenggam lengan jubah Radeeva. “Radeeva… dia butuh bantuanmu! Kau bisa menyembuhkannya, bukan? Kumohon…”

Namun Radeeva menarik tangannya, menjauh tanpa suara. Ia membalikkan badan dan melangkah ke dalam gelapnya hutan tanpa menoleh.

“Kau… tak tahu siapa dia sebenarnya.” hanya itu yang terdengar samar dari bibirnya. “Kau terlalu cepat mempercayai cahaya… sebelum melihat bayangan yang disembunyikannya.”

Kemudian, ia menghilang ke dalam kabut malam, membiarkan Reina sendiri menghadapi detik-detik paling mencekam dalam hidupnya.

“Tidak… tidak…!” Reina kembali berbalik, berlutut di samping Bhirendra yang kini jatuh tersungkur. Darahnya mengalir dari bibir dan luka-luka yang menganga. Wajahnya pucat, matanya nyaris tertutup.

“Bhirendra… bangun! Kumohon! Aku harus melakukan apa?!”

Reina memeluk tubuh itu dengan gemetar. Tangannya yang kecil menekan dada Bhirendra, mencoba merapalkan mantra demi mantra penyembuhan. Ia mencoba semua yang ia pelajari, bahkan yang belum sempurna ia hafal. Namun… tak satu pun bekerja. Tak satu pun cukup, dan akhirnya Reina terisak. Tangis itu pecah pelan, lalu menguat, menjadi jeritan tanpa bentuk, suara perempuan yang merasa tak berdaya di tengah kehancuran yang tak bisa ia hentikan.

“Bhirendra… tolong bertahan…! Bertahan…!”

Ia mendekap tubuh pria itu erat, wajahnya terkubur di dada berdarah itu. Bahunya terguncang oleh isak, dan dalam kepanikan serta kepedihan, ia memanggil nama Radeeva berulang kali.

“Radeeva! Kembali! Kumohon! Jangan tinggalkan kami! Jangan biarkan dia mati!”

Suara itu, meski patah-patah dan bercampur air mata, menembus malam. Dan justru karena suara itulah… dua hati terguncang.

Bhirendra, yang ada di ambang kesadaran, mulai mendengar suara itu seolah dari kejauhan. Suara Reina. Lirih namun penuh tenaga. Putus asa namun… murni. Untuk pertama kalinya… seseorang memperjuangkannya.

Ia yang selama ini berdiri sendiri. Yang selalu menjadi alat, pemikul tugas, penjaga garis depan. Tak pernah ada yang menangis karena ia terluka. Tak pernah ada yang memohon agar ia tetap hidup. Namun kini, seorang perempuan dari dunia asing, menjerit agar ia jangan pergi. Kesadarannya mulai goyah. Tapi hatinya... bergetar.

Sementara itu, Radeeva berhenti melangkah di balik gelap pohon tua. Ia mengepalkan tangan, tubuhnya gemetar. Kata-kata Reina terngiang-ngiang di telinganya, memukul lapisan keras yang menutupi hatinya.

“Kalian adalah temanku yang berharga. Jika salah satu dari kalian tidak ada, untuk apa aku di sini memperjuangkan segalanya?”

Ia menunduk, dan untuk sesaat, dendamnya terasa kecil… dibandingkan rasa kehilangan yang akan ditanggung Reina.

More Chapters