Cherreads

Chapter 25 - The Timeless Strings Tour

Pukul 16:00 – Salle Gaveau, Paris

Langit Paris sore itu mulai berwarna jingga pucat, dan aroma mawar dari taman-taman kota seolah ikut menyelinap ke sela-sela dinding megah Salle Gaveau.

Ruangan klasik berbalut emas dan putih gading itu mulai terisi satu per satu.

Denting pelan dari piano yang sedang disesuaikan nadanya mengisi udara seperti bisikan antisipasi.

Di belakang tirai velvet merah tebal itu, aku berdiri. Napasku tenang, tapi jantungku sedikit lebih cepat dari biasanya.

Aku, Verez, mengenakan setelan berwarna hitam dengan jas panjang beraksen satin.

Dasi kupu-kupu klasik dan rambutku yang sedikit gondrong diikat rapi ke belakang.

Membuat semua orang dapat melihatku dengan jelas.

Aku tahu aku akan tampil malam ini, bukan sekadar bermain, tapi menyampaikan kisah.

Dan seperti biasa, aku ingin setiap nada dari gesekan biolaku menjadi bahasa cinta yang tak perlu diterjemahkan.

Di sekitarku, semua kru sudah dalam posisi

Paquito, pianis Italia yang jenaka itu, sedang berbicara pelan dengan Rebecca, pemain cello asal Italia yang selalu membawa aroma lavender ke mana pun ia pergi.

Tristanio sedang berbincang dengan seseorang dibalik ponsel, aku tahu dia sedang menghubungi istrinya.

Beberapa musisi lain yang datang dari Jepang, New York, Moskow, dan Buenos Aires, semuanya sudah bersiap.

Para penyanyi Vocal tampak melewati kami yang sedang berkumpul.

Konser malam ini adalah kolaborasi internasional, bagian dari The Timeless Strings Tour, dan Paris adalah kota yang paling aku tunggu.

Terutama sekitar Panthéon.

Seperti kebiasaan kami sebelum setiap konser, kami semua berdoa dalam keyakinan masing-masing.

Tak ada yang saling menertawakan, tak ada yang saling mempertanyakan.

Aku melihat tangan-tangan yang tergenggam, mata yang terpejam, dan jiwa yang menunduk penuh rasa syukur.

Aku pun berdoa dalam diam, membiarkan batinku terhubung dengan Sang Pencipta melalui bisikan halus doa-doa yang tak bersuara.

Vario, manajerku, memberi anggukan dan jempol darinya.

Dia sudah berdiri di sisi panggung dengan kamera kecilnya.

Bukan untuk dokumentasi promosi, tapi untuk kenangan.

Dia tahu, aku selalu ingin melihat kembali reaksi orang-orang, dan merekam bagaimana setiap konser bukan hanya pertunjukan… tapi pengalaman spiritual.

"Salle Gaveau sudah penuh, bahkan sebelum tirai dibuka," bisik Vario sambil melirik earpiece-nya.

“Aku dengar ada banyak orang penting yang duduk di barisan tengah, bahkan katanya ada beberapa bangsawan dari Inggris.”

Aku hanya tersenyum.

Itu bukan hal yang baru, tetapi tak pernah jadi alasan utama aku naik ke panggung.

Pukul 16:15.

Kami semua berdiri di posisi masing-masing.

Di balik tirai yang masih tertutup, aku bisa mendengar riuh rendah penonton.

Ada bisik-bisik, gelak tawa kecil, dan derit kursi yang disentuh oleh rasa tidak sabar.

Lampu mulai diredupkan.

Di bawah sinar panggung, bayangan kami mulai terbentuk di balik tirai.

Getaran lantai kayu pun terasa dari derap langkah pengatur acara.

Aku menarik napas panjang.

Lalu satu per satu suara teman-temanku terdengar:

“Forza, fratello mio.” (Ayo, saudaraku)

suara Tristanio.

“Nous brillons ce soir, comme des étoiles.” (Kita akan bersinar malam ini, seperti bintang-bintang)

suara Rebecca dia menggunakan bahasa prancis.

“Wǒ men yīqǐ jìnxíng.” (Kita melangkah bersama)

suara Jian, violinis dari Beijing.

“Do your magic, Verez. The world is watching.”

dari Daniel, drummer klasik dari London.

Aku membalas mereka semua dengan satu kalimat singkat:

"For love, for music, for the soul."

Lima belas menit menuju pukul 17:00.

Lima belas menit menuju panggung simfoni.

Dan aku tidak tahu, entah siapa yang duduk di antara para penonton malam ini, entah berapa mata yang akan memejam ketika biolaku mulai bernyanyi, tapi aku merasa ada satu jiwa di luar sana, yang mungkin akan mendengarku lebih dalam daripada yang lain.

Dan untuk siapapun dia… aku akan memainkan semuanya.

Salle Gaveau, Paris – 17:00 waktu setempat

Konser

“The Timeless Strings Tour-Night of the Soul”

Tepat pukul 17:00, seluruh ruangan menjadi senyap.

Hanya detak jam tua yang berdiri megah di salah satu sudut dinding Salle Gaveau yang terdengar berdetak pelan, dan detak itu seolah menyatu dengan jantungku.

Aku berdiri di balik tirai tebal yang perlahan mulai bergerak naik.

Denting pembuka dari grandpiano terdengar seperti bisikan dari dunia lain.

Alunan lembut dari klarinet menyusul, bagai angin yang menari pelan di permukaan danau musim gugur.

Lalu, giliran gesekan awal dari cello menggema lembut seperti pelukan pertama seorang ibu.

Tirai mulai terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya panggung masih redup.

Namun penonton di dalam Salle Gaveau, yang berkapasitas hampir 1.000 orang, sudah tak lagi mampu menahan decak kagum.

Semua mata tertuju ke panggung,

ke arah kami.

Aku berdiri di tengah, bersama biolaku, Antonio Stradivari 1715 “Il Cremonese”, yang begitu aku jaga dan cintai lebih dari hidupku sendiri.

Biola ini bukan sekadar alat musik.

Ia adalah warisan jiwa.

Kayunya menghitam di bagian tertentu, digurat waktu, namun suaranya… masih murni, sehalus angin yang menyentuh pipi seseorang yang sedang jatuh cinta.

Lagu pembuka kami: “WaltzNo.2” karya DmitriShostakovich.

Alunan waltz klasik itu memutar ruangan dalam keindahan yang nyaris tidak masuk akal.

Kami bermain bergantian, klarinet, piano, saxophone, biola pertama, lalu harmonisasi penuh seisi orkestra.

Namun, bagian paling menegangkan adalah ketika musik mulai meredup… dan hanya satu sorotan cahaya menyala, mengenaiaku.

Tepat di tengah panggung.

Di saat semua alat musik berhenti sesaat.

Aku tahu ini saatku.

Kuposisikan jemariku di atas senar, kusentuhkan busur ke biola. Lalu…

“Can’tHelpFallinginLove”.

Dari sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh ElvisPresley, kini berubah menjadi lantunan cinta abadi dari biola tua di tangan seorang pria yang mencintai terlalu dalam.

Nadanya keluar pelan, tapi menghujam.

Lembut… tetapi mengguncang seperti badai dalam hati.

Aku memainkannya bukan untuk pamer. Aku memainkannya untuk menyampaikan rasa.

Bait demi bait seolah mengucapkan,

“Wise men say… only fools rush in. But I can’t help falling in love with you…”

Seluruh ruangan diam.

Bahkan napas para penonton pun seakan ditahan.

Lampu-lampu panggung berpendar hangat, lembut seperti sinar mentari pagi di musim semi.

Seseorang mungkin sedang menitikkan air mata di bangku belakang.

Seseorang mungkin sedang menggenggam tangan pasangannya lebih erat.

Tapi aku tak melihat mereka.

Aku tetap menunduk, fokus.

Aku hanya ingin suaraku,

melalui biolaku menyentuh siapa pun yang pernah mencintai… dan kehilangan.

Begitu bagian soloku berakhir, terdengar tepuk tangan meriah.

Namun aku tidak membungkuk.

Aku tidak berhenti.

Kami masih memiliki banyak lagu.

Selama dua jam penuh, kami memainkan karya-karya yang menggugah jiwa:

“River Flows in You”

“Moon River”

“Por una Cabeza”

dan bahkan sebuah gubahan khusus yang kubuat sendiri untuk konser malam ini, “Danse de l’Âme” – Tarian Jiwa.

Pukul 18:55.

Lima menit sebelum konser berakhir.

Dan berpindah ke seriosa sebagai closing.

Dan aku tahu lagu penutup ini bukan sembarang lagu.

Ini adalah lagu yang akan meninggalkan jejak abadi di hati setiap orang malam ini.

Sebuah kisah cinta yang tak pernah bisa selesai, dinyanyikan tanpa kata.

“Historia de un Amor.”

Ketika alunan itu dimulai,

aku seperti kembali ke taman itu.

Tempat di mana satu ciuman mengubah segalanya.

Tempat di mana rasa tak memiliki nama, tapi tetap mampu menusuk lebih dalam daripada apa pun.

Saat aku menggesekkan senar untuk bait terakhir, aku melihat sekilas ke arah tengah penonton.

Seperti ada sosok dengan rambut curly panjang, duduk tenang, matanya tertuju padaku.

Dan aku sadar itu hanyalah bayangan dalam khayalanku

Aku tak tahu apakah itu benar dia.

Aku tak yakin.

Tapi jiwaku bergetar.

Ketika nada terakhir menggema…

Seluruh ruangan berdiri.

Standing ovation.

Tepuk tangan mengguncang panggung.

Bunga dilemparkan.

Sorak-sorai menggemuruh.

Tapi aku hanya berdiri di tempatku,

memeluk biolaku…

dan membisikkan satu kalimat pelan dalam hati:

“Semoga kamu mendengarkan...”

More Chapters