Chapter 41 – Dunia Tanpa Arah
Tiga bulan telah berlalu sejak Singgasana Langit hancur dan dunia Aetherya kehilangan pusat kekuasaannya. Apa yang tadinya tampak seperti pembebasan, kini berubah menjadi kekacauan yang merambat perlahan, tapi pasti.
Roky duduk di sebuah batu besar di pinggir reruntuhan desa asalnya. Angin malam membawa aroma asap dan tanah basah. Di sekitar desa, gubuk-gubuk kecil mulai didirikan ulang, tapi bayang-bayang perang tetap terasa mengintai. Ras-ras yang dulu terpisah oleh tembok suci kini saling berdesakan, bukan dalam persatuan, tapi dalam kecurigaan.
"Dunia ini tak tahu apa yang harus dilakukan tanpa aturan," gumam Roky. Di sisinya, Veera menyeka wajahnya yang kotor, matanya sayu. Lira berdiri tidak jauh, memandangi langit gelap penuh bintang yang terpecah oleh kilat petir.
"Kita sudah berikan mereka kebebasan, tapi mereka justru tenggelam dalam ketakutan dan kerusuhan," kata Veera, suara penuh kepedihan.
Roky menatap kedua sahabatnya itu. "Itu bukan salah mereka. Mereka cuma manusia—atau elf, orc, iblis, dan beastkin—yang sudah terbiasa hidup di dalam batas-batas yang jelas. Sekarang batas itu hilang, dan mereka tersesat."
Di kejauhan, terdengar derap kaki yang datang cepat. Gorak, dengan tubuh besar penuh bekas luka, mendekat sambil membawa berita buruk.
"Para penguasa kecil sudah mulai merebut wilayah. Kota-kota dekat sungai diklaim oleh pasukan bayaran baru yang muncul tiba-tiba. Mereka menggunakan nama lama, tapi tujuan mereka cuma satu—kekuasaan dan uang."
"Jadi perang belum berakhir," gerutu Roky.
"Tidak, ini malah lebih buruk. Karena sekarang tidak ada sistem yang mengekang mereka."
Lira mengerutkan kening. "Kita perlu melakukan sesuatu. Kita harus tunjukkan bahwa ada cara lain selain perang dan kekerasan."
"Bagaimana caranya?" Roky menghela napas. "Aku telah mencoba menjadi simbol persatuan, tapi simbol tanpa kekuatan hanyalah bayangan."
Malam itu, di dalam gereja tua yang mereka gunakan sebagai markas, Roky duduk sendirian, memegang sebuah potongan batu bercahaya yang tersisa dari Singgasana Langit. Batu itu dulu menjadi inti dari tahta suci yang mengatur dunia, sekarang hanya pecahan yang menyimpan sisa kekuatannya.
Suara langkah ringan terdengar dari belakang. Veera masuk, membawa segelas air dan duduk di samping Roky.
"Kau masih memikirkan singgasana itu?" tanyanya lembut.
Roky mengangguk. "Aku merasa... kita sudah melepaskan beban, tapi dunia ini belum siap menanggungnya."
Veera menatap batu itu dengan tatapan cemas. "Apa itu benar-benar hilang? Atau hanya berpindah ke tempat lain?"
"Kalau ada sesuatu yang lebih gelap, aku ingin tahu sekarang," jawab Roky.
Beberapa hari kemudian, kabar aneh mulai menyebar dari perbatasan sebelah utara, di wilayah yang dulu dianggap tanah liar, tidak beradab, dan berbahaya.
Para pengelana dan pemburu melaporkan penampakan makhluk-makhluk aneh, bukan manusia, elf, orc, beastkin, atau iblis—melainkan sesuatu yang berbeda, misterius, dan mengerikan. Tubuh mereka tampak berlapis debu merah, berkilauan seperti serpihan kaca, dan mata mereka berwarna hitam pekat tanpa pupil.
Mereka menyebutnya "Ras Kesepuluh".
Desas-desus bertambah menjadi ketakutan ketika kabar lain muncul: desa-desa yang dulu menjadi tempat perlindungan mulai kehilangan penduduk secara misterius. Orang-orang menghilang tanpa jejak. Tak ada tanda-tanda pertempuran, tapi desa-desa berubah menjadi sunyi dan kosong, seolah ditelan oleh kegelapan.
Roky memanggil pertemuan kecil dengan Veera, Lira, dan Gorak.
"Kita harus menyelidiki ini," katanya tegas. "Jika ada ancaman baru yang lebih besar dari perang ras, kita harus tahu apa itu."
Veera mengangguk. "Aku akan mengirim pengintai ke utara. Tapi ini berbeda dari sebelumnya. Energi di sana terasa tidak alami."
Lira menambahkan, "Jika benar ini adalah ras baru, maka dunia kita akan berubah sekali lagi. Tidak hanya batas antar ras, tapi juga batas antara hidup dan mati."
Gorak mengepalkan tangan. "Aku siap berperang jika itu yang diperlukan."
Roky menatap ketiganya, merasa beban besar di pundaknya. Dunia memang kehilangan sistem lama, tapi mungkin mereka harus menemukan sistem baru—bukan tahta dan hukum, tapi janji dan perjanjian. Perjanjian yang akan menentukan apakah Aetherya akan tenggelam dalam darah dan debu… atau bangkit dari abu.
Langit malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, tak hanya gelap tapi juga hening. Suara-suara biasa malam lenyap, digantikan oleh bisikan angin yang membawa pesan lama: Perjanjian darah dan debu sedang menunggu untuk ditandatangani.
Chapter 42 – Debu yang Bernyanyi
Kegelapan pagi itu lebih pekat dari biasanya. Kabut merah pekat menggantung di antara pepohonan hutan utara, membuat udara terasa dingin dan lembap. Roky, Veera, Lira, dan Gorak berdiri di tepi sebuah desa yang telah lama ditinggalkan, yang konon adalah titik pertama munculnya kabar tentang "Ras Kesepuluh."
Desa itu sunyi, terlalu sunyi.
Daun-daun berguguran perlahan, menutupi jalan-jalan berdebu yang retak dan penuh reruntuhan. Atap-atap rumah yang dulu kokoh kini sudah roboh, tiang-tiang kayu yang tersisa seperti tulang-tulang mati yang membusuk perlahan. Tapi di balik kehancuran itu, ada sesuatu yang terasa hidup—sesuatu yang bukan manusia atau makhluk ras sembilan.
"Ini seperti waktu berhenti di sini," bisik Lira, matanya menyapu setiap sudut desa.
Veera mengangguk pelan. "Dan sesuatu... menunggu."
Roky menghela napas panjang, tangannya menggenggam potongan batu bercahaya dari Singgasana Langit yang masih ia simpan. Batu itu berdenyut dengan energi samar, seolah bergetar mengikuti detak jantung dunia yang mulai berubah.
"Mari kita cari tahu apa yang tersisa," kata Roky.
Mereka memasuki reruntuhan yang dulu menjadi balai pertemuan desa. Di dalamnya, udara bergetar dengan suara halus seperti bisikan—suara yang seolah berasal dari debu dan angin yang menyentuh dinding kayu yang sudah lapuk.
Lira menunduk dan mendengarkan. "Aku mendengar sesuatu... seperti nyanyian."
"Debu yang bernyanyi," gumam Roky, wajahnya menegang.
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka bergetar pelan, dan dari celah-celah tanah muncul sinar merah keemasan, menari seperti nyala api kecil. Debu-debu yang berwarna darah itu bergerak, membentuk pola dan huruf-huruf aneh di udara, yang seakan ingin menyampaikan pesan.
Veera melangkah maju dan mengulurkan tangan, tapi sebelum ia menyentuh debu, sosok muncul dari bayang-bayang.
Makhluk itu berdiri dengan tinggi hampir dua meter. Tubuhnya tampak seperti dari tanah dan debu yang berkilau, matanya hitam pekat tanpa pupil, wajahnya tertutup oleh topeng yang terbuat dari serpihan kristal merah.
"Kami adalah yang terlupakan, yang terbuang, yang ditinggalkan oleh dunia sembilan ras," suaranya bergetar dan terdengar seperti gema ribuan bisikan. "Kami adalah Ras Kesepuluh."
Roky mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. "Kenapa kalian muncul sekarang? Apa tujuan kalian?"
Makhluk itu melangkah maju, debu di sekitarnya berputar seperti badai kecil. "Kami muncul karena dunia ini kosong. Kekosongan sistem lama menciptakan ruang bagi kami untuk kembali. Kami bukan musuh, tapi dunia ini akan memanggil kami sebagai ancaman karena ketakutan dan prasangka."
Veera menatap tajam. "Apa yang kalian inginkan?"
"Perjanjian," jawab makhluk itu. "Sebuah perjanjian darah dan debu. Kami akan memberikan keseimbangan yang hilang jika kalian berani menerima keberadaan kami. Jika tidak, kami akan menjadi badai yang menghapus segalanya."
Lira memandang Roky. "Apakah dunia sudah siap untuk perjanjian ini?"
Roky menunduk sejenak, memikirkan pilihan-pilihan yang selama ini sudah ia buat dan konsekuensinya. "Kita tidak bisa menolak mereka, tapi kita juga tidak bisa menerima tanpa syarat. Kita harus menemukan cara agar semua ras, termasuk Ras Kesepuluh, bisa hidup berdampingan tanpa kehancuran."
Makhluk itu mengangguk pelan, dan debu di sekitarnya mulai membentuk simbol-simbol aneh yang bercahaya.
"Perjanjian ini adalah ujian bagi dunia baru yang kau inginkan, Roky anak sembilan darah. Bila kau gagal, dunia akan hancur dalam darah dan debu."
Malam itu, Roky duduk termenung di bawah langit yang berkilauan, memandang bintang-bintang yang kini tampak berbeda—lebih samar, lebih jauh.
Veera dan Lira mendekat, duduk di sebelahnya.
"Kau membawa beban yang lebih berat dari yang pernah kita bayangkan," kata Veera.
Roky mengangguk. "Aku bukan lagi hanya simbol persatuan. Aku adalah jembatan antara dunia yang telah lama runtuh dan dunia yang belum lahir."
Lira menatap Roky dengan lembut. "Jangan biarkan beban itu menghancurkanmu."
Roky tersenyum lemah. "Aku harus kuat. Karena jika aku jatuh, maka dunia akan jatuh bersamaku."
Esok paginya, Roky dan kelompoknya mulai merencanakan perjalanan ke jantung tanah yang pernah menjadi pusat kekuatan Ras Kesepuluh. Mereka tahu bahwa perjanjian itu tidak akan mudah, dan banyak ancaman yang menunggu di sana.
Namun di dalam hatinya, Roky merasa sesuatu yang baru—sebuah harapan samar, bahwa meskipun dunia tanpa sistem lama ini penuh dengan ketidakpastian, mungkin, hanya mungkin, masa depan yang berbeda bisa lahir dari debu yang bernyanyi itu.
Chapter 43 – Cakrawala yang Retak
Ketika sinar matahari pertama pagi itu menembus kabut tipis di perbukitan utara Aetherya, desa kecil tempat Roky dan kelompoknya tinggal berubah menjadi medan perdebatan yang panas. Kabar tentang kehadiran Ras Kesepuluh telah menyebar ke seluruh penjuru, membangkitkan ketakutan dan kemarahan di hati para pemimpin sembilan ras.
Di sebuah ruang pertemuan terbuka, yang dulunya menjadi simbol persatuan antar ras, kini dipenuhi oleh aura kecemasan. Para pemimpin berdiri berhadapan, saling bertukar pandang penuh curiga. Roky berdiri di tengah-tengah mereka, mencoba menjaga ketenangan di tengah badai yang sedang mengamuk.
"Saudara-saudaraku," suara Roky bergema dengan tegas, "kita telah hidup di dunia yang rapuh, dengan batas-batas yang membatasi kita. Namun kini, sebuah kenyataan baru muncul yang tidak bisa kita abaikan—Ras Kesepuluh. Mereka bukan ancaman, mereka adalah bagian dari dunia ini, terlupakan dan tersembunyi dalam debu sejarah."
Seorang elf tua dengan jubah hijau keperakan, bernama Elyndor, memotong dengan suara dingin, "Bagaimana kau bisa mengatakan mereka bukan ancaman? Tubuh mereka bukan daging dan darah seperti kita. Mereka terbuat dari debu dan bayangan, sesuatu yang tidak pernah kita kenal. Mereka adalah makhluk asing yang bisa menghancurkan keseimbangan dunia."
Sang orc besar, Gorak, menimpali dengan suara berat, "Kami telah mengalami cukup banyak peperangan. Jika Ras Kesepuluh ini benar-benar ada, mereka harus menunjukkan niat baiknya. Atau kami tidak akan ragu untuk melawan."
Kemarahan dan ketakutan memenuhi udara, membuat hubungan yang selama ini dibangun dengan susah payah mulai retak. Roky tahu ia harus berbicara lebih kuat.
"Kalian pernah mendengar tentang perjanjian kuno yang mengikat sembilan ras, bukan? Namun perjanjian itu hanya mengunci sejarah dan membatasi kita dalam kebencian. Ras Kesepuluh muncul karena kekosongan yang diciptakan oleh prasangka dan peperangan kita sendiri. Jika kita menolak mereka, kita hanya mengundang kehancuran yang lebih besar."
Para pemimpin saling bertukar pandang, ragu-ragu. Di antara mereka, suara-suara yang mendukung mulai tumbuh perlahan.
Seorang manusia bernama Lord Alrik angkat bicara, "Aku mengakui, ini adalah situasi yang sulit. Namun, kita harus realistis. Apakah kita siap membuka diri kepada makhluk yang bahkan belum kita pahami sepenuhnya?"
Roky mengangguk, "Mereka juga memiliki ketakutan dan keinginan yang sama seperti kita. Aku sudah berbicara langsung dengan Kaelthas, pemimpin Ras Kesepuluh. Mereka ingin damai, tapi dunia ini harus siap berubah."
Di sudut ruang pertemuan, Veera dan Lira berdiskusi serius.
"Ini lebih berat dari yang kupikir," bisik Veera. "Orang-orang masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu."
Lira mengangguk, "Tapi ini adalah satu-satunya jalan. Jika kita gagal meyakinkan mereka, peperangan akan menjadi tak terelakkan."
Sementara itu, jauh di perbatasan utara, Kaelthas berdiri di depan pasukan debu yang berkilauan.
"Kita harus bersabar," katanya kepada para pengikutnya. "Dunia sembilan ras masih terikat oleh masa lalu mereka. Roky adalah jembatan kita, tapi jika mereka menolak perjanjian, kita tidak akan tinggal diam."
Seorang prajurit bertanya dengan suara berat, "Jika mereka menolak, apa yang akan kita lakukan, Kaelthas?"
Kaelthas tersenyum dingin, "Maka kita akan menjadi badai yang menghapus semua yang telah runtuh."
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan negosiasi dan diplomasi yang penuh tekanan. Roky mengunjungi satu per satu pemimpin ras, mencoba meredakan ketakutan dan memupuk harapan.
Dalam pertemuan dengan pemimpin elf, Elyndor, Roky berbicara dengan hati terbuka, "Kita harus membangun masa depan yang tidak dibatasi oleh masa lalu. Ras Kesepuluh bukan musuh kita, mereka cermin dari apa yang kita abaikan selama ini."
Elyndor terdiam sejenak, kemudian berkata, "Mungkin aku terlalu cepat menilai. Tapi aku perlu waktu untuk meyakinkan kaumku."
Di desa Roky, mereka mempersiapkan ritual perjanjian yang akan mempertemukan sembilan ras dan Ras Kesepuluh. Debu merah dari makhluk-makhluk itu menari di udara, membentuk pola-pola bercahaya yang memancarkan harapan sekaligus ancaman.
Saat malam tiba, Roky berdiri bersama Kaelthas dan para pemimpin ras, bersiap mengucapkan sumpah damai yang mungkin menjadi awal dunia baru atau akhir dari semuanya.
"Ini adalah kesempatan kita untuk menciptakan dunia yang berbeda," kata Roky dengan suara tegas. "Sebuah dunia di mana perbedaan menjadi kekuatan, bukan alasan untuk perang."
Kaelthas menatap Roky dengan mata bercahaya, "Jika dunia ini gagal, maka kita akan membakar semua sampai hanya debu yang tersisa. Tapi jika berhasil, kita akan menjadi cahaya di kegelapan."
Saat ritual berlangsung, udara bergetar oleh energi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Debu dan darah bersatu dalam tarian mistis yang membungkus mereka semua, menandai awal dari babak baru dalam sejarah Aetherya.
Namun, di balik keheningan malam, bayangan-bayangan gelap bergerak, siap mengacaukan perdamaian yang baru mulai tumbuh.
Di dalam hati Roky, ia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir. Cakrawala dunia ini memang retak, tapi di retakan itulah harapan bisa tumbuh.
Chapter 44 – Bayangan di Ujung Dunia
Kegelapan mulai merayap pelan-pelan di ujung dunia, mengintai dari balik tebing-tebing tajam dan hutan-hutan lebat yang membentang luas di luar batas desa. Di tempat ini, di mana cahaya hampir tak mampu menembus kabut tebal, rahasia gelap bersembunyi dan kekuatan kuno terbangun kembali, mengancam perdamaian yang baru saja dirajut.
Roky berdiri di atas batu besar yang menghadap ke arah barat, menatap cakrawala yang mulai memerah di bawah sinar matahari senja. Suasana hening, namun hatinya dipenuhi kegelisahan. Ia tahu, perjanjian yang mereka buat bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan sebuah awal yang rapuh.
"Bayangan itu belum pergi," gumam Roky pada dirinya sendiri, mengingat kabar tentang kelompok bayangan misterius yang mulai muncul di perbatasan wilayah sembilan ras.
Di sebuah gua tersembunyi jauh di dalam hutan, sebuah kelompok berseragam gelap berkumpul dalam lingkaran. Di tengah mereka berdiri sosok tinggi berjubah hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayangan. Suaranya lembut namun tajam saat berbicara.
"Perjanjian itu hanyalah topeng," katanya. "Mereka percaya Roky dan Ras Kesepuluh bisa menyatukan dunia, tapi mereka lupa bahwa sejarah tak pernah dilupakan begitu saja."
Salah satu anggota bertanya, "Apa langkah kita selanjutnya, Tuan?"
Sosok berjubah itu mengangkat tangan, menebarkan asap tipis berwarna kelabu. "Kita akan mengacaukan benih-benih perdamaian itu. Ketika mereka lengah, bayangan kita akan menyebar, menghancurkan kepercayaan dan membangkitkan perang yang lebih dahsyat dari sebelumnya."
Sementara itu, di desa Roky, pertemuan para pemimpin ras berlanjut dengan ketegangan yang semakin terasa. Beberapa pemimpin mulai menunjukkan tanda-tanda keraguan, dan suara-suara sumbang mulai muncul, merongrong pondasi perjanjian.
"Bagaimana kita bisa percaya pada makhluk dari debu dan bayangan?" tanya seorang pemimpin manusia dengan nada mencurigakan. "Mereka mungkin menyembunyikan niat sebenarnya."
Roky menatapnya dengan mata penuh ketegasan. "Kepercayaan memang sulit, tapi kita harus mulai dari sesuatu. Jika kita menolak untuk membuka diri, maka kita hanya memperpanjang siklus kebencian."
Pada malam yang sama, Veera dan Lira berjalan menyusuri tepi sungai di luar desa, membicarakan perkembangan terbaru.
"Kau rasa, bayangan itu benar-benar ancaman nyata?" tanya Veera.
Lira mengangguk pelan. "Aku sudah mendengar desas-desus tentang kelompok bayangan itu. Mereka tidak hanya pembenci perdamaian, tapi juga pengikut sebuah kekuatan kuno yang ingin menguasai dunia."
Veera menarik napas panjang, "Kalau begitu, kita harus siap. Roky dan kita semua harus lebih waspada."
Keesokan harinya, Roky memimpin sebuah ekspedisi kecil menuju perbatasan utara untuk mencari tahu lebih banyak tentang kelompok bayangan itu. Bersama beberapa pejuang dari sembilan ras, mereka melangkah ke dalam hutan yang semakin lebat dan gelap.
Jejak-jejak yang mereka temukan menunjukkan bahwa kelompok bayangan itu bukan sekadar rumor. Bekas api yang membakar reruntuhan kuno, simbol-simbol misterius yang terukir di batu, dan bisikan angin yang membawa suara samar kesakitan menjadi tanda bahwa ancaman itu nyata dan berbahaya.
Di tengah ekspedisi, Roky merasa seperti diawasi. Matanya tajam mengamati setiap gerakan bayangan yang melintas di sela-sela pepohonan. Suara-suara aneh terdengar dari kejauhan, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Tetap waspada," perintah Roky. "Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di depan."
Malam itu, saat mereka berkemah di sebuah lembah kecil, mimpi buruk menghantui Roky. Ia melihat gambaran dunia yang terbakar, api yang menghanguskan desa-desa, dan bayangan gelap yang merayap menelan cahaya. Di tengah api, sosok berjubah hitam tertawa dingin, mengawasi kehancuran yang terjadi.
Roky terbangun dengan napas terengah, keringat membasahi wajahnya. "Ini bukan hanya mimpi," bisiknya, "ini peringatan."
Keesokan harinya, ekspedisi mereka menemukan sebuah reruntuhan kuno yang dipenuhi simbol-simbol gelap. Roky merasakan energi jahat mengalir di udara. Di dalam reruntuhan itu, mereka menemukan pesan yang terukir pada dinding batu.
"Dunia yang terpecah akan runtuh dalam api dan darah. Hanya bayangan yang akan bertahan."
Pesan itu menjadi bukti bahwa kelompok bayangan itu berencana melancarkan serangan besar untuk menghancurkan perjanjian dan membangkitkan perang.
Kembali ke desa, Roky segera melaporkan temuan mereka. Para pemimpin ras mendengarkan dengan serius, menyadari bahaya yang lebih besar dari yang mereka kira.
"Kita tidak hanya berhadapan dengan ketidakpercayaan antar ras," kata Roky. "Ada kekuatan gelap yang berusaha memecah belah kita. Jika kita tidak bersatu sekarang, dunia ini akan jatuh ke dalam kehancuran."
Di tengah kegelisahan, Kaelthas mengirim utusan dari Ras Kesepuluh untuk bergabung dengan pertahanan desa. Mereka membawa kekuatan debu dan bayangan, bersatu dengan para pejuang sembilan ras yang mulai belajar saling percaya.
Roky berdiri di depan mereka semua, suara penuh keyakinan. "Ini adalah saat kita membuktikan bahwa kita lebih kuat bersama. Bukan hanya kata-kata, tapi tindakan kita yang akan menentukan masa depan Aetherya."
Ketika bayangan kegelapan mulai menyelimuti cakrawala, Roky dan para pemimpin ras bersiap menghadapi ancaman yang datang dari ujung dunia. Ini bukan hanya tentang peperangan, tapi juga tentang mempertahankan harapan dan masa depan bagi seluruh Aetherya.
Chapter 45 – Rembulan Pecah
Malam itu, rembulan menggantung rendah di langit Aetherya, memancarkan cahaya perak yang lembut menyelimuti desa kecil di perbatasan sembilan ras dan Ras Kesepuluh. Suasana tampak tenang, damai seolah dunia melupakan semua ketegangan yang selama ini membayangi. Namun, ketenangan itu hanyalah bayangan tipis sebelum badai datang.
Roky berdiri di menara pengawas desa, matanya menatap jauh ke arah hutan yang mengelilingi wilayah mereka. Ia tahu bahwa ancaman masih mengintai. Belum lama ini, kabar tentang kelompok bayangan yang mencoba menggagalkan perjanjian terus berdatangan. Namun, ia yakin bahwa para pejuang desa sudah siap menghadapi apapun.
"Tapi apakah kita benar-benar siap?" pikir Roky dalam hati.
Tiba-tiba, angin dingin berhembus dari arah barat, membawa aroma asing yang menusuk. Roky merasakan getaran aneh di udara — sesuatu yang tak terlihat mulai bergerak di balik pepohonan.
"Semua pasukan, bersiap!" serunya melalui peluit keras yang membelah keheningan malam. Suara itu menggema, membangunkan para penjaga dan prajurit yang tengah berjaga.
Di berbagai titik desa, lampu-lampu obor dinyalakan dengan cepat. Warga yang telah tidur terkejut dan berhamburan keluar rumah, mencari tempat berlindung.
Dari balik pepohonan, bayangan hitam mulai muncul, seperti gelombang gelap yang merayap tanpa suara. Kelompok bayangan itu tiba-tiba menyerbu, membawa senjata yang berkilauan di bawah sinar rembulan, dan energi gelap yang melilitkan tubuh mereka seperti kabut pekat.
Roky bersama para pejuang sembilan ras dan Ras Kesepuluh segera berkumpul. Mereka memegang senjata, menyiapkan mantra, dan membentuk barisan pertahanan.
"Jangan biarkan mereka mencapai pusat desa!" perintah Roky dengan suara tegas, sementara matanya mencari sosok di antara gelombang musuh.
Pertempuran pecah dengan hebat. Pedang bertemu pedang, panah melesat ke udara, dan mantra-mantra bercahaya memecah kegelapan. Suara benturan senjata dan teriakan peperangan memenuhi udara malam.
Roky melangkah maju, memimpin serangan balik. Ia merasakan kekuatan gabungan dari darah kesembilan ras mengalir dalam dirinya, memberinya kekuatan luar biasa. Namun, serangan musuh tak terduga dan brutal, membuat banyak penjaga terluka.
"Veera, bantu kami di sisi timur!" serunya pada sahabatnya yang memegang tombak bercahaya.
Veera mengangguk, berlari ke sisi timur dengan cepat, menghadapi gelombang musuh yang mencoba menerobos.
Di tengah kekacauan, Roky menangkap sosok berjubah hitam yang terlihat memimpin kelompok bayangan itu. Sosok itu bergerak cepat, menghindari serangan, dan mengeluarkan gelombang energi gelap yang menimbulkan kerusakan besar.
Roky tahu bahwa musuh ini bukan hanya pejuang biasa, melainkan dalang di balik rencana kegelapan. Mereka harus menghentikannya agar serangan tidak menjadi bencana total.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Roky melompat ke arah sosok berjubah itu, mengayunkan pedangnya dengan kilatan cahaya merah menyala. Benturan mereka menghasilkan ledakan energi yang mengguncang tanah dan membuat pepohonan bergoyang hebat.
Pertarungan itu intens dan brutal, namun Roky berhasil mematahkan pertahanan musuh dan memaksa sosok berjubah itu mundur ke dalam bayangan.
"Ini belum selesai!" teriak sosok itu sebelum lenyap ke kegelapan.
Namun, serangan mendadak itu sudah cukup membuat desa hancur sebagian. Beberapa rumah terbakar, dan banyak warga terluka. Para pemimpin ras yang semula bersatu kini terpukul oleh kenyataan pahit bahwa perjanjian mereka rentan dan mudah digoyahkan oleh kekuatan gelap.
Di tengah puing-puing dan asap, Roky berdiri dengan wajah penuh luka dan kelelahan, namun matanya tetap menyala penuh tekad.
"Kita harus memperkuat perjanjian ini," katanya kepada para pemimpin yang berkumpul di reruntuhan balai desa. "Kita tidak bisa membiarkan ketakutan dan kecurigaan memecah belah kita. Ancaman ini nyata, dan hanya dengan bersatu kita bisa menghadapinya."
Malam itu menjadi saksi luka pertama bagi dunia baru yang ingin mereka bangun. Namun juga menjadi awal dari semangat baru untuk melawan kegelapan yang terus mengintai.
Roky tahu bahwa perjalanan panjang dan berat masih menunggu mereka, tapi dengan darah kesembilan ras yang mengalir di nadinya, ia yakin bahwa harapan masih bisa menyala di tengah kegelapan.
Chapter 46 – Jejak Darah
Gelap malam masih menyelimuti desa ketika Roky dan kelompok kecilnya bersiap untuk menyelidiki lebih dalam serangan mendadak yang mengguncang kedamaian mereka. Di antara reruntuhan dan asap yang masih mengepul, langkah kaki mereka bergema dengan tekad yang membara. Jejak darah yang tersebar di tanah menjadi petunjuk pertama menuju dalang di balik kekacauan.
"Setiap jejak ini adalah saksi bisu dari siapa yang telah menyerang kita," ujar Roky, matanya menyapu setiap detail di sekitar. "Kita harus mengikuti jejak ini tanpa membiarkan mereka menyadari bahwa kita mendekat."
Bersama Veera, Lira, dan beberapa pejuang andal dari sembilan ras, Roky memulai perjalanan yang penuh bahaya. Mereka tahu bahwa kelompok bayangan itu tidak hanya sekadar gerombolan musuh biasa—mereka adalah makhluk yang berakar pada kegelapan kuno dan misteri yang sulit dipecahkan.
Langkah mereka membawa ke sebuah reruntuhan lama, jauh di dalam hutan yang sudah lama ditinggalkan. Di sana, di bawah reruntuhan kuil yang runtuh, mereka menemukan simbol-simbol yang terukir dalam batu, sama dengan simbol yang pernah Roky lihat di lokasi serangan.
Veera membungkuk dan menyentuh ukiran itu dengan jari-jarinya yang halus. "Ini bukan hanya tanda biasa. Ini adalah lambang dari sebuah aliran kuno yang dulu dipercaya sebagai cikal bakal kekuatan bayangan."
Lira menatap ukiran itu dengan rasa takut dan kagum sekaligus. "Apakah ini berarti kelompok itu bukan hanya musuh dari dunia kita, tapi juga dari zaman yang terlupakan?"
Roky mengangguk, semakin mantap bahwa mereka berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang mereka duga.
Selama berhari-hari, mereka mengikuti jejak darah dan petunjuk dari reruntuhan ke reruntuhan, menemukan lebih banyak tanda dan artefak yang mengungkap sejarah kelam dari kelompok bayangan itu. Setiap langkah mereka semakin memperdalam pemahaman mereka akan ancaman yang sebenarnya: kelompok ini ingin menghidupkan kembali perang kuno yang pernah mengancam keberadaan seluruh Aetherya.
Namun, di balik penyelidikan itu, muncul kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara para anggota kelompok Roky. Ada bisik-bisik yang mulai menyebar bahwa ada salah satu dari mereka yang mungkin membocorkan informasi atau bersekongkol dengan musuh.
Suatu malam, ketika mereka berkemah di bawah naungan pepohonan, Roky memanggil pertemuan kecil. "Kita semua memiliki satu tujuan: melindungi dunia ini. Namun, jika ada pengkhianat di antara kita, maka semua yang kita perjuangkan akan sia-sia."
Mata semua orang tertuju pada satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan dan ketakutan. Roky tahu, bahwa selain berhadapan dengan musuh luar, mereka juga harus melawan bayangan dalam diri mereka sendiri.
Di sisi lain, di markas rahasia kelompok bayangan, sosok berjubah hitam itu menerima laporan dari pengintai mereka. "Roky mulai mencium jejak kita. Kita harus mempercepat rencana."
Salah satu anggota berkata dengan nada dingin, "Apa yang harus kita lakukan terhadap kelompok Roky?"
"Biarkan mereka semakin terpecah. Kita akan menyusup ke dalam perjanjian mereka, memecah belah dari dalam," jawab sosok itu dengan senyum penuh tipu daya.
Di tengah konflik yang semakin memanas, Roky dan kelompoknya menemukan titik terang: sebuah desa terpencil yang menjadi sarang rahasia musuh. Dengan hati-hati, mereka menyusun rencana untuk menyerbu dan menghentikan ancaman itu sebelum semuanya terlambat.
Namun, Roky juga sadar bahwa perang ini bukan hanya soal kekuatan, tapi juga soal kepercayaan, pengorbanan, dan pilihan antara membalas dendam atau membangun masa depan.
Chapter 47 – Api di Bawah Salju
Salju turun deras di puncak gunung Elrath, membungkus seluruh desa dan benteng kecil di sana dengan selimut putih yang tenang. Namun, di balik keheningan yang menipu itu, api kebencian dan intrik politik sedang membara, siap meledak kapan saja.
Roky tiba di benteng tersebut bersama beberapa utusan dari Ras Kesepuluh dan pemimpin dari sembilan ras lain. Mereka datang untuk membahas perjanjian yang retak setelah serangan mendadak malam lalu. Tapi yang mereka hadapi bukan hanya ancaman luar, melainkan juga racun yang sudah meresap di dalam tubuh sendiri.
Di ruang pertemuan besar, para pemimpin duduk mengelilingi meja batu besar, wajah-wajah mereka menampilkan campuran ketegangan, kelelahan, dan ketidakpercayaan. Roky berdiri di depan mereka, berusaha menenangkan suasana.
"Perjanjian kita sudah diuji," katanya dengan suara tenang namun penuh kewibawaan. "Namun, jika kita terpecah sekarang, maka semuanya akan hilang. Kita harus menyatukan kekuatan dan menyingkirkan pengkhianat yang mencoba memecah belah kita."
Namun, tidak semua setuju. Dari sudut ruangan, seorang bangsawan elf bernama Faelen angkat bicara dengan nada dingin. "Roky, kau berbicara tentang persatuan, tapi bagaimana kita bisa percaya pada mereka yang berasal dari Ras Kesepuluh? Mereka sudah menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan. Kita tidak boleh membuka pintu terlalu lebar untuk mereka."
Kata-kata Faelen seperti bara api yang menyalakan kemarahan tersembunyi para pendukungnya. Suara-suara sumbang mulai terdengar, menggemakan kecurigaan dan prasangka lama yang seharusnya sudah terkubur.
Roky menatap Faelen dengan penuh kesabaran. "Pengkhianatan harus dihadapi, bukan dengan ketakutan dan diskriminasi. Kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk melindungi Aetherya."
Namun, ketegangan semakin meningkat ketika laporan baru datang: ada bukti bahwa seseorang dari barisan sembilan ras bersekongkol dengan kelompok bayangan yang menyerang desa.
"Siapa yang berani mengkhianati kita?" bentak seorang orc bertubuh besar, tangannya mengepal keras.
Ketika mereka mencari jawaban, sebuah surat rahasia ditemukan. Surat itu berisi instruksi dan informasi yang jelas berasal dari dalam kelompok mereka sendiri, membeberkan rencana serangan dan titik lemah mereka.
Suasana berubah menjadi kacau. Tuduhan dilemparkan, dan rasa saling curiga menyelimuti seluruh pertemuan. Roky merasa jiwanya terbebani, mengetahui bahwa musuh terbesar mereka mungkin bukan dari luar, tapi dari dalam sendiri.
Dia memutuskan mengambil langkah berani.
"Kita akan menyelidiki siapa pengkhianat ini dengan hati-hati. Tapi kita harus tetap bersatu. Jika tidak, kegelapan akan menang."
Sementara itu, di balik tirai, seseorang mengawasi semua itu dengan senyum penuh kepuasan. Seorang pembisik dari masa lalu yang tak terlihat, memanfaatkan ketegangan untuk menggerakkan kepingan catur politiknya.
Intrik mulai membelit semua pihak. Aliansi yang dulu kuat mulai retak oleh rasa takut, kebencian, dan ambisi pribadi. Roky harus berjuang bukan hanya dengan pedang, tapi juga dengan kecerdasan dan keteguhan hati untuk menjaga agar api persatuan tidak padam oleh salju kebencian.
Hari-hari berlalu penuh dengan perdebatan sengit, pengintaian diam-diam, dan diplomasi yang rawan. Roky menyadari bahwa untuk melindungi dunia baru ini, ia harus mengungkap pengkhianatan yang berakar dalam sekaligus membangun jembatan kepercayaan yang rapuh.
Di tengah kedinginan dan salju yang terus turun, pertarungan yang sesungguhnya bukanlah tentang siapa yang memegang senjata terkuat, melainkan siapa yang mampu menguasai api di bawah salju: api semangat, harapan, dan persatuan.
Chapter 48 – Simfoni Terakhir
Malam itu, angin dingin menghembuskan nyanyian yang penuh duka dari balik pepohonan, membawa harum tanah basah dan asap sisa pertempuran yang belum usai. Roky duduk di puncak bukit kecil, menatap bintang-bintang yang berkelip redup. Suara gemerisik angin dan denting pelan rantai baja di lengannya menjadi simfoni terakhir sebelum keheningan yang menggantung.
Dalam hati Roky berkecamuk pertanyaan yang sulit dijawab: sejauh mana dia boleh mengorbankan kemanusiaannya demi kekuatan? Apakah harga dari kekuatan mutlak itu terlalu mahal jika harus kehilangan jiwa?
Sejak awal perjalanannya, Roky telah menyadari bahwa darahnya yang terdiri dari sembilan ras memberinya kemampuan luar biasa, namun juga membebani dengan konflik batin yang mendalam. Setiap kali ia menggunakan kekuatan itu, ada bagian dalam dirinya yang terasa semakin jauh dari apa yang dulu ia anggap sebagai kemanusiaan.
Sementara dunia di sekelilingnya terbakar oleh perang dan pengkhianatan, Roky terus bertanya: apakah menjadi makhluk terkuat berarti harus menyerah pada sisi gelapnya?
Kabar buruk datang dari perbatasan desa—sekumpulan pasukan bayangan telah menyerang pos penjagaan kecil. Roky tahu bahwa untuk melindungi orang-orang yang dicintainya, dia harus bertindak segera. Namun, pilihan yang dihadapinya sulit.
Dia bisa menggunakan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam dirinya, kekuatan yang bisa menghancurkan lawan dalam sekejap, tapi dengan risiko kehilangan kendali dan merusak dirinya sendiri, atau ia bisa bertarung dengan cara manusia biasa, yang lebih aman namun jauh lebih berbahaya.
Di tengah keraguan, Veera mendekat dan duduk di sebelahnya. "Roky, kau tidak sendiri. Kekuatanmu adalah anugerah, tapi juga ujian. Jangan biarkan kekuatan itu menguasai dirimu. Kita semua ada di sini untukmu."
Roky memandang Veera dengan mata penuh rasa terima kasih. "Terkadang aku takut, Veera. Takut jika aku kehilangan diriku sendiri."
Veera menggenggam tangan Roky erat. "Kita semua punya sisi gelap. Tapi yang membuat kita manusia adalah pilihan kita, bukan kekuatan yang kita miliki."
Keesokan harinya, Roky memimpin pasukan kecil untuk menghadapi serangan berikutnya. Saat musuh muncul, ia merasakan denyut kekuatan yang menggelegak di dalam tubuhnya. Dengan napas dalam, Roky menahan godaan untuk melepaskan seluruh kekuatannya.
Pertarungan itu sengit, namun Roky memilih strategi dan kerja sama dengan pasukannya. Mereka berhasil mengusir musuh tanpa harus menggunakan kekuatan destruktif Roky secara penuh.
Setelah pertempuran, Roky duduk kembali di puncak bukit, menatap langit yang mulai memerah oleh fajar. Simfoni terakhir itu adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar bukanlah miliknya semata, tapi terletak pada hati yang mampu menjaga kemanusiaan di tengah kekacauan.
Chapter 49 – Cincin Persatuan
Pagi itu, kabut tebal menggulung lembut di atas dataran tinggi yang menghubungkan sembilan kerajaan dan Ras Kesepuluh. Di tempat yang disebut Alun-Alun Persatuan, berdirilah panggung megah dari kayu putih dan batu bercahaya, hasil kerja bersama yang melambangkan harapan baru di tengah dunia yang rapuh.
Roky berdiri tegap di tengah kerumunan yang terdiri dari perwakilan sembilan ras dan Ras Kesepuluh. Suasana terasa sakral namun sarat dengan ketegangan. Setelah sekian lama perpecahan, pengkhianatan, dan peperangan, hari ini menjadi titik balik—sebuah upacara pengesahan perjanjian yang diimpikan sejak lama.
Di sisi panggung, Veera memegang satu set cincin bercahaya—setiap cincin mewakili satu ras yang kini berdiri bersatu. Roky tahu, cincin-cincin itu bukan hanya simbol, melainkan janji dan ikatan yang harus dijaga dengan segenap jiwa.
Seorang tetua elf bernama Alirion, yang selama ini menjadi penengah dan saksi sejarah, maju ke depan. Dengan suara yang berat dan penuh wibawa, ia memulai ritual.
"Hari ini, kita meresmikan sebuah era baru," ucapnya. "Dari perbedaan dan konflik, kita bangun persatuan. Dari api dan darah, kita ciptakan kedamaian. Semoga cincin ini menjadi ikatan yang tak terputus antara kita."
Satu per satu, para pemimpin dari masing-masing ras maju menerima cincin mereka dan mengucapkan sumpah kesetiaan pada perjanjian yang telah disusun dengan susah payah. Roky mengamati dengan seksama, merasakan gelombang harapan yang bergemuruh di udara.
Namun, di dalam hati kecilnya, ia menyadari bahwa janji ini tidak boleh hanya berhenti di sini. Persatuan ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata, dengan saling pengertian dan kerja sama yang tulus.
Ketika giliran Roky tiba, ia melangkah maju dengan langkah pasti. Veera menyerahkan cincin terakhir kepadanya, sebuah cincin yang menggabungkan seluruh warna dan simbol sembilan ras serta Ras Kesepuluh. Cincin itu bersinar lembut, seperti memancarkan harapan dari dalam.
Roky mengenakan cincin itu di jarinya dan berkata lantang, "Dengan ini, aku berjanji untuk menjaga persatuan ini, bukan hanya sebagai pemimpin, tapi sebagai pelindung dan pembawa harapan bagi semua ras. Kita harus berjalan bersama, menghadapi tantangan dan mengatasi perbedaan, demi masa depan Aetherya yang lebih baik."
Suasana hening sesaat, kemudian seluruh hadirin bersorak. Namun, sorak itu tidak hanya kegembiraan, melainkan juga tanggung jawab yang kini membebani pundak mereka semua.
Tak jauh dari sana, bayangan gelap mengintip di balik pepohonan. Kelompok bayangan yang selama ini menjadi ancaman belum menyerah. Mereka tahu bahwa persatuan ini adalah musuh terbesar bagi rencana jahat mereka.
Roky menyadari, setelah upacara ini, tantangan sebenarnya baru saja dimulai. Perjanjian dan ritual hanyalah langkah pertama. Kini, mereka harus mengubah kata-kata menjadi tindakan, menghapus dendam dan prasangka lama, dan membangun dunia yang selama ini diimpikan.
Dengan tekad yang membara, Roky memimpin seluruh ras untuk mulai membangun, berlatih bersama, berbagi pengetahuan, dan menjaga kedamaian dengan segala kekuatan yang mereka miliki.
Hari itu, Cincin Persatuan bukan hanya simbol, tapi juga janji abadi bahwa dunia Aetherya akan berubah—bahkan jika bayangan gelap terus mengintai.
Chapter 50 – Titik Balik
Langit Aetherya pagi itu tampak berbeda. Cahaya matahari menembus kabut dengan warna keemasan yang hangat, seolah memberikan restu atas babak baru yang tengah dibuka. Udara terasa segar dan penuh harapan, mengiringi langkah Roky dan para pemimpin sembilan ras bersama Ras Kesepuluh yang kini berjalan berdampingan menuju pusat pertemuan.
Hari itu bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Setelah berbulan-bulan perjuangan, pengorbanan, dan pengkhianatan, dunia tengah berada di persimpangan yang menentukan nasibnya. Titik balik telah datang.
Sejak upacara Cincin Persatuan, kedamaian mulai merekah di tanah yang dulu penuh darah dan air mata. Desa-desa yang pernah porak-poranda perlahan bangkit, para petani kembali menanam, dan anak-anak bermain tanpa rasa takut. Hubungan antar ras yang dulu penuh curiga kini mulai tumbuh dengan pelan tapi pasti.
Roky merasakan beban berat yang terangkat sedikit demi sedikit. Namun, dia juga tahu bahwa kedamaian ini rapuh dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Dalam rapat bersama para pemimpin, diskusi berlangsung panjang dan intens. Setiap ras membawa suara dan kepentingannya masing-masing, kadang bertabrakan, namun berusaha untuk mencapai titik temu demi kebaikan bersama.
"Kerjasama ini adalah harapan kita untuk masa depan," ujar Veera dengan tegas. "Tapi kita harus waspada. Ancaman yang pernah mencoba memecah kita mungkin masih bersembunyi di bayang-bayang."
Roky mengangguk. Ia telah menerima laporan intelijen yang menunjukkan pergerakan pasukan bayangan di wilayah utara, tanda bahwa musuh belum menyerah.
Sementara itu, di balik layar, kekuatan gelap yang selama ini tersembunyi mulai bergerak. Seorang sosok misterius, yang selama ini hanya dikenal sebagai Bayangan Hitam, mulai mengumpulkan pasukannya dengan tujuan menghancurkan persatuan yang telah diraih dengan susah payah.
Dia mengirim mata-mata dan pembisik untuk menyebarkan keraguan dan kebencian, mencoba memancing konflik antar ras. Ketegangan yang kecil saja bisa menjadi percikan api yang memicu perang kembali.
Di tengah semua itu, Roky harus mengambil keputusan penting. Ia tahu bahwa menghadapi musuh luar saja tidak cukup. Ia harus memimpin dengan hati, menjembatani perbedaan, dan menjaga agar janji persatuan tidak menjadi sekadar kata-kata kosong.
"Ini adalah titik balik bagi kita semua," pikir Roky. "Jika kita bisa bertahan dan bersatu di masa sulit ini, maka dunia baru yang kita impikan akan benar-benar terwujud."
Di lapangan latihan, para prajurit dari berbagai ras berlatih bersama, saling belajar teknik bertarung dan taktik. Roky menyaksikan mereka dengan bangga, melihat bagaimana kebersamaan mulai mengikis prasangka lama.
Namun, di sudut lain, beberapa individu masih menyimpan dendam dan ketidakpercayaan. Mereka menganggap persatuan ini sebagai kelemahan, dan siap memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggagalkan upaya perdamaian.
Ketika malam tiba, Roky berdiri di balkon istana kecil tempat dia menetap sementara. Ia memandang bintang-bintang yang berkelip, bertanya-tanya tentang masa depan yang penuh ketidakpastian.
Dalam hati, dia berdoa agar titik balik ini benar-benar menjadi awal baru, bukan akhir dari segala harapan.
Chapter 51 – Langkah Terakhir
Dingin malam itu menusuk tulang. Angin berdesir pelan melewati pepohonan tinggi di pinggir desa yang kini mulai ramai dengan aktivitas baru — bukan lagi deru perang dan rintihan luka, melainkan suara tawa dan percakapan penuh harap. Roky berdiri sendiri di puncak bukit, menatap ke arah cakrawala yang berpendar samar cahaya fajar.
Ini adalah malam sebelum keputusan terakhir. Langkah terakhir dalam perjalanan yang telah melelahkan jiwa dan raga, namun juga mengajarkan arti sesungguhnya dari kekuatan, pengorbanan, dan kemanusiaan.
Sejak upacara Cincin Persatuan, dunia Aetherya mengalami perubahan besar. Namun, perubahan itu tidak datang tanpa pengorbanan. Roky tahu bahwa musuh lama dan baru masih mengintai, dan hanya satu langkah salah bisa mengobarkan kembali api perang yang hampir padam.
Di balik kesunyian malam, dia merasakan beban yang lebih berat dari biasanya. Tekanan itu bukan hanya dari ancaman eksternal, tapi juga dari dalam dirinya sendiri—keraguan dan ketakutan yang mencoba merenggut sisa kemanusiaannya.
Dalam perjalanan panjangnya, Roky telah menghadapi banyak dilema: apakah kekuatan harus selalu digunakan? Apakah pengorbanan nyawa tak berdosa bisa dibenarkan demi tujuan besar? Dan yang paling berat—apakah dia bisa menjadi simbol persatuan tanpa kehilangan dirinya?
Semua pertanyaan itu kini harus dijawab. Tidak ada lagi ruang untuk ragu, tidak ada lagi waktu untuk bersembunyi.
Keesokan paginya, di hadapan perwakilan sembilan ras dan Ras Kesepuluh, Roky mengumpulkan semua keberanian dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Mereka berkumpul di Alun-Alun Persatuan, tempat yang sama di mana janji dulu diikrarkan.
Dengan suara yang kuat namun penuh kehangatan, Roky memulai pidatonya.
"Teman-teman, saudara-saudaraku dari sembilan ras dan lebih dari itu, kita berdiri di sini bukan hanya sebagai penyintas perang, tapi sebagai pembangun masa depan. Kita telah berjalan jauh, melewati kebencian dan keraguan, menuju satu tujuan yang sama—kedamaian dan persatuan."
Namun suara Roky tak hanya menyampaikan harapan. Ia juga mengingatkan akan tanggung jawab besar yang kini mereka emban.
"Kita tahu, jalan ini tak mudah. Bahaya masih mengintai, dan ujian akan terus datang. Tapi selama kita berdiri bersama, tidak ada yang bisa memecah belah kita. Kita harus terus menjaga kepercayaan dan melindungi satu sama lain, bahkan ketika kegelapan mengelilingi."
Roky melihat mata para pemimpin yang penuh harapan sekaligus kelelahan. Mereka adalah sosok yang telah berjuang keras, mengorbankan banyak hal demi impian bersama. Sebagian dari mereka masih menyimpan luka lama, namun kini memilih untuk membuka lembaran baru.
Veera berdiri di samping Roky, memberikan dukungan tak terlihat namun sangat berarti. Senyum lembutnya menjadi pengingat bagi Roky bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang kemampuan, tapi juga cinta dan pengertian.
Setelah pidato, mereka melakukan ritual penanaman Pohon Persatuan—simbol hidup yang akan tumbuh bersama waktu, seperti halnya ikatan yang telah mereka jalin. Setiap pemimpin menanam benih dari pohon yang sama, menandakan bahwa mereka bertanggung jawab bersama atas kelangsungan dunia baru ini.
Di tengah kegembiraan itu, kabar buruk datang. Seorang pengawal berlari mendekat membawa pesan dari perbatasan utara: pasukan bayangan kembali menggerakkan kekuatannya. Serangan besar-besaran tak terelakkan.
Roky menghela napas, merasakan tekanan di dadanya semakin berat. Tapi kali ini, ia tak lagi sendiri. Dengan tegas, dia berkata, "Kita akan menghadapi ini bersama. Ini bukan hanya ujian kekuatan, tapi ujian persatuan kita."
Pertempuran pun tak terhindarkan. Roky memimpin pasukan gabungan dari semua ras, menunjukkan bahwa kekuatan terbesar terletak pada kerja sama, bukan dominasi satu pihak. Mereka bertempur dengan semangat yang tak pernah padam, mempertaruhkan segalanya demi masa depan yang telah diimpikan.
Di medan perang, Roky bertarung bukan hanya dengan otot dan sihir, tapi juga dengan hati. Dia mengingat setiap janji yang pernah diikrarkan, setiap pengorbanan yang telah dilakukan, dan harapan yang kini terpancar di mata anak-anak yang menatap masa depan.
Dalam serangan yang paling kritis, Roky hampir kehilangan kendali kekuatannya. Tapi berkat dukungan pasukannya dan ingatan tentang kemanusiaan yang melekat dalam dirinya, dia mampu menahan diri. Dia memilih untuk tidak menghancurkan, tapi mengalahkan musuh dengan cara yang menunjukkan kasih dan pengertian.
Ketika debu pertempuran mereda, Aetherya berdiri lebih kuat dari sebelumnya. Luka lama mulai sembuh, dan pohon persatuan yang mereka tanam bertunas, menunjukkan bahwa kehidupan baru memang mungkin tumbuh dari reruntuhan masa lalu.
Di akhir hari, Roky kembali ke bukit tempat ia sering merenung. Kini, ia berdiri tidak lagi sendirian, tapi bersama sahabat dan para pemimpin yang setia. Matahari terbenam dengan warna jingga keemasan, memancarkan harapan abadi.
"Ini adalah langkah terakhir dalam perjalananku," bisik Roky pada diri sendiri. "Tapi ini juga awal dari perjalanan kita semua."