Cherreads

Chapter 19 - Eps19: Setelah Ledakan Cahaya

Hening.

Tak ada suara. Tak ada angin. Tak ada nyala.

Hanya debu… dan cahaya yang menggantung di udara seperti serpihan bintang yang terluka.

Satu per satu, makhluk bayangan berubah menjadi abu dan terbawa angin. Ladang yang dulunya penuh pertempuran kini menjadi dataran sunyi. Tubuh-tubuh para pejuang tergeletak. Beberapa masih hidup, sebagian tidak bergerak sama sekali.

Di tengah semuanya, lampu kecil itu masih menyala.

Lampu Kehidupan. Retak. Nyaris padam.

Dan di sampingnya Abbas.

Tubuhnya tergeletak di tanah, pakaian koyak, kulitnya luka-luka, dan napasnya berat. Tapi matanya... terbuka. Ia menatap langit abu-abu yang mulai jernih, dan perlahan melihat satu sosok mendekat.

Elira.

Lemas, berlumuran darah, tapi hidup.

Ia terhuyung, lalu jatuh berlutut di samping Abbas. Tangan mereka bertemu gemetar, hangat, penuh rasa.

“Kita berhasil,” bisik Elira.

Abbas mencoba bicara, tapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan. “Zhun...?”

Elira menggeleng pelan. Air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu... Dia belum ditemukan.”

Abbas menutup mata. Hatinya menjerit. Tapi ia tak sanggup mengeluarkan suara.

Beberapa waktu berlalu.

Para penyintas mulai bangkit. Kaelus dan Zera membantu mengumpulkan korban selamat. Maelya menenangkan anak-anak yang ditemukan di reruntuhan. Dari sekitar seribu pasukan, kurang dari tiga ratus yang bertahan.

Tapi yang lebih penting Val’Tharok telah lenyap.

Tidak ada jejak kehadirannya. Tidak ada pusaran kegelapan. Tidak ada bayangan abadi. Segelnya telah ditutup kembali. Untuk sekarang… dunia kembali tenang.

Namun luka yang ditinggalkan… tak akan mudah disembuhkan.

Hari keempat setelah pertempuran.

Abbas duduk di tepi danau kecil di luar Narthas. Tangannya menggenggam lampu yang kini padam sepenuhnya. Tak ada cahaya. Tapi ia masih menyimpannya. Karena bukan soal kekuatan... melainkan kenangan.

Elira duduk di sampingnya.

Mereka tak banyak bicara. Kadang cinta tak butuh kata-kata. Ia hanya butuh hadir, dan saling tahu bahwa keduanya masih bernapas dan bersama.

Lalu, dari kejauhan… datang seorang prajurit muda. Matanya berlinang. Di tangannya… pedang bayangan yang kini patah.

Elira berdiri. Tubuhnya gemetar.

“Di mana kau menemukannya?” tanya Abbas cepat.

“Di celah batu besar… di sisi utara medan perang,” jawab si prajurit. “Kami... tidak menemukan tubuhnya.”

Elira menatap pedang itu. Gagangnya masih hangat.

“Zhun...” bisiknya.

Malam itu, mereka mengadakan upacara peringatan.

Tiga ratus lentera diterbangkan ke langit. Satu untuk setiap jiwa yang gugur. Lentera paling terang dibawa Elira dan Abbas

untuk Zhun.

Kaelus berpidato dengan suara berat.

“Dunia tidak selamat karena cahaya saja. Ia selamat karena ada yang pernah tersesat dan memilih untuk kembali.”

Zera berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Kaelus. Bahkan ia pun tidak bisa menahan air mata.

Setelah upacara, Abbas berjalan sendirian ke reruntuhan segel. Ia memandang bintang-bintang di atas.

Kemudian, sebuah suara muncul dari balik kegelapan.

“Luar biasa... mereka masih mengingatku.”

Abbas berbalik.

Di bawah pohon tua, Zhun berdiri. Pakaian sobek. Wajahnya penuh luka. Tapi dia hidup.

Elira yang mengikuti Abbas dari jauh terdiam saat melihatnya.

“Bagaimana...?” tanya Abbas.

“Aku berada di antara dua dunia untuk beberapa waktu,” jawab Zhun. “Tapi seseorang menarikku kembali. Suara Elira. Dan... suaramu.”

Elira berlari ke arahnya, memeluk Zhun. Kakak dan adik yang terpisah oleh kegelapan... kini bersatu.

Zhun membalas pelukan itu dengan gemetar.

“Aku tak layak dimaafkan,” katanya.

Elira menggeleng. “Kau tak perlu dimaklumi. Kau hanya perlu... kembali.”

Pagi berikutnya.

Kota Narthas mulai dibangun kembali. Para penduduk menyapu puing-puing dan menanam bunga di tempat para pejuang gugur. Di tengah kota, sebuah tugu didirikan.

Tugu dengan ukiran:

"Cahaya bukan tentang kekuatan. Tapi tentang pilihan untuk mencintai ketika dunia menolak kita."

Dan di bawahnya... nama-nama mereka terukir: Abbas, Elira, Zera, Kaelus, Maelya, dan Zhun.

Di malam terakhir sebelum mereka kembali ke Kota Aurath, Abbas dan Elira duduk di atas bukit kecil. Lampu Kehidupan, meski telah padam, tetap mereka bawa.

Abbas menatap Elira. “Apa yang akan kau lakukan setelah semua ini?”

Elira menjawab pelan. “Aku ingin menanam pohon. Di tempat terakhir Zhun muncul. Agar ia tumbuh, seperti harapan.”

Abbas mengangguk. “Dan aku... ingin tetap hidup. Tak lagi hanya bertarung. Tapi benar-benar hidup.”

Ia mengeluarkan sepotong roti kecil dari tasnya.

Elira tertawa kecil. “Kau benar-benar buat itu?”

Abbas menyodorkannya. “Untuk sarapan pertama dunia yang damai.”

Elira menggigit roti itu. Air mata mengalir di pipinya. “Terima kasih... karena tidak menyerah.”

Dan saat cahaya pertama dari fajar muncul, mereka tahu meski dunia belum sempurna, tapi mereka telah memperjuangkan tempat untuk pulang. Dan cinta... adalah cahaya yang akan terus menuntun mereka, apa pun yang terjadi.

More Chapters