Cherreads

HEARTBREAK SYSTEM

Reni_Riana
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
496
Views
Synopsis
> Kerja jadi kurir, tidur di kamar petak, ditolak cewek dari SMA? Itu aku... sebelum sistem itu datang. Sekarang? Tatapanku bikin cewek salah tingkah. Sentuhanku bisa bikin mereka goyah. Tapi tunggu, ini bukan cuma soal enak-enakan. Ada batas waktu. Ada misi. Dan setiap wanita punya rahasia yang bisa membunuhku—secara emosi atau… beneran. Sembilan wanita, sembilan tantangan, dan satu jalan: jadi raja atau jadi korban. Pilihanku jelas. Tapi hati mereka? Gak semudah itu
VIEW MORE

Chapter 1 - Pantaskah seorang Kurir Mendapatkan Ciuman

Hujan turun tipis saat aku parkir motor bebek tua di depan café bergaya Eropa. Meski jaketku masih basah karena mengantar paket seharian, aku berdiri tegak. Tangan menggenggam undangan reuni kecil alumni SMA yang dikirim lewat grup WhatsApp—yang baru aktif semalam.

 Nama pengundangnya: Feby.

 Aku hampir tidak datang. Tapi sesuatu di dadaku bilang: perlu. Entah apa. Penegasan? Pengakuan? Atau sekadar ingin tahu apakah luka lama masih terasa perih

 Saat aku melangkah masuk ke café, mataku langsung menangkap sosok-sosok berpenampilan mahal: tas branded, jam tangan mengkilap, parfum mahal yang baunya menusuk meski samar. Dan di tengah-tengah mereka—Feby.

 Dia duduk di kursi tengah seperti ratu. Rambut panjangnya disasak tinggi, bibir merah gelap, dan tawa sinis yang masih sama seperti lima belas tahun lalu.

 Matanya menatapku. Sekilas, ragu. Lalu tertawa keci.

 "Lho," katanya, suara keras, disengaja. "Raksa? Kamu beneran datang?

 Semua kepala menoleh. Beberapa tertawa kecil

 Aku menelan ludah. Ingin mundur, tapi kakiku sudah tertanam

 Feby berdiri. Melangkah mendekat. Tumit tingginya beradu dengan lantai marmer, memecah suasana.

 "Wah," lanjutnya, "kamu sekarang kerja di... ekspedisi ya?

 Ia menatap jaketku yang bertuliskan nama perusahaan pengiriman.

 "Kerja keras ya? Kayak nggak berubah dari SMA. Selalu jadi figuran.

 Tawa meledak dari sekitarnya.

 Ada yang berseru, "Eh, dulu dia pernah suka Feby, kan?"

 Yang lain menambahkan, "Iya! Dulu sampe bawa tas Feby, terus ditampar karena ngarep!"

 Hatiku mencelup ke lumpur.

 Aku menguatkan diri, duduk di ujung meja, pura-pura tertawa. Tapi dadaku sesak. Sakit. Bukan karena hinaan itu—melainkan karena sebagian dari diriku ternyata masih peduli.

 Masih berharap dihargai. Masih berharap dianggap.

 Feby memalingkan muka. "Ngapain sih datang ke sini? Ini tempat buat orang-orang yang... udah naik kelas."

 Kepalaku menunduk. Napasku berat. Tapi aku tidak bicara sepatah kata pun. Tidak sekarang.

 Aku berdiri.

 Tanpa minum, tanpa makan, tanpa pamit—aku keluar. Hujan turun lebih deras.

 --

 Langkahku gontai di trotoar basah. Jalanan mulai sepi, lampu-lampu jalan bergoyang terkena angin. Jaketku sudah menempel ke tubuh, dingin masuk sampai ke tulang.

 Aku duduk di halte kosong. Menunduk

 Hari ulang tahun. Tapi yang kupunya cuma luka. Dari masa lalu… dan dari sekarang.

 "Aku nggak penting."

 Itu suara di kepalaku. Bukan baru kali ini. Tapi malam ini, lebih keras.

 Tanganku meraba lutut—sobek, berdarah karena jatuh waktu keluar café tadi. Aku tidak peduli. Hati lebih robek dari itu.

 > "Kalau Tuhan ada…," gumamku pelan, nyaris tak terdengar, "kenapa rasanya hidup cuma buat ditertawakan?`

 Petir menyambar. Duarrr... Langit menyalak putih.

 Dan lalu…

 Ada suara. Tapi bukan dari luar.

 > [SISTEM HATI SAKTI DIAKTIFKAN]

 Selamat, Anaraksa. Karma hidupmu memasuki tahap penyelesaian.

 Target pertama: FEBY — Wanita yang menghina dan merusak harga dirimu.

MISI: Buat dia MENGECUP bibirmu dalam waktu 24 jam.

 Jika gagal: eksistensimu akan terhapus secara bertahap.

 Dimulai dari: namamu hilang dari semua kontak HP siapa pun yang mengenalmu.

 Aku terdiam.

 Mataku melotot, dadaku mendadak sesak. Aku menoleh ke kiri dan kanan

 "Siapa?!"

 Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu… nyaring di dalam kepala.

 > [Skill pasif pertama diaktifkan: "Membaca Emosi Dasar Wanita"]

 Kekuatan akan bertambah sesuai misi. Tapi ingat: kau hanya dapat bertahan jika berhasil.

 SISA WAKTU: 24:00:00

 Aku bangkit. Jantungku berdetak keras. Ini bukan mimpi. Tapi juga bukan dunia normal.

 > "Apa aku gila?"

 "Atau… ini jawaban dari doa tololku tadi?"

 Tiba-tiba, pandangan mataku kabur sebentar, lalu layar transparan melayang di depan:

 > Target Terdeteksi: FEBY

 Jarak: 117 meter. Lokasi: parkiran Café D'Kopi.

 Aku berdiri. Kaki gemetar, tapi kepala dingin.

 > "Kalau hidup memang seperti mainan… kali ini aku yang mainin balik."

 Langkahku menapak ke arah parkiran.

 ---

 Parkiran café sepi. Hujan sudah tinggal gerimis. Feby berdiri sendiri di samping mobil putihnya. Ia sibuk menelepon seseorang, suaranya kesal.

 > "Aku bilang Ketemuan jam sembilan! Masa sama cowok kayak Raksa aja bikin kamu cemburu? Dasar lebay!"

 Ponselnya dimatikan dengan kasar. Ia memutar badan—dan membeku.

 Aku berdiri lima meter darinya. Basah kuyup. Diam. Menatapnya tajam.

 Dia melipat tangan, dagunya sedikit terangkat.

 "Ngapain kamu ke sini?"

 Nadanya datar. Tapi mata… tidak setegar mulutnya.

 [SISTEM AKTIF: Membaca Emosi Dasar]

 > Terkejut 48%. Penasaran 27%. Dominasi 15%. Nafsu? Nol.

 Belum cukup.

 Aku melangkah perlahan. Tak berkata apa-apa.

 Feby gelisah. Tangan kirinya meremas dompet kecil.

 "Kamu dendam, ya? Karena aku pernah—"

 > "Tampar aku?" potongku datar.

 Ia diam.

 > "Waktu itu aku nggak ngerti kenapa. Tapi sekarang aku tahu. Kamu takut."

 Alisnya naik. "Takut? Aku?"

 > "Iya. Takut ada cowok miskin yang bisa bikin kamu jatuh, dan kamu nggak siap."

 > [SISTEM: Respon emosional meningkat. Target bingung. Ego retak 12%.]

 Feby mendekat setengah langkah. Matanya tajam, tapi pupilnya tak stabil.

 > "Kamu berubah, ya. Dulu mukamu kayak anak hilang. Sekarang… agak nyebelin."

 > "Berarti berhasil."

 > "Berhasil apa?"

 Aku mendekat satu langkah lagi. Hanya ada jarak satu meter di antara kami.

 > "Berhasil bikin kamu mikir dua kali sebelum ngeledek aku."

 > "Tch. Jadi kamu mau balas dendam?"

 Aku menatap langsung ke matanya.

 > "Enggak. Aku cuma pengen buktiin satu hal."

 > "Apa?"

 > "Kalau cowok kurir ini… bisa bikin kamu pengin cium dia."

 Dia tertawa. Pendek, gugup.

 "Gila. Kamu beneran berubah jadi psycho, ya?"

 Aku tidak menjawab. Hanya diam. Menunggu.

 > [SISA WAKTU MISI: 23:41:02]

 [SISTEM: Tekanan v

erbal cukup. Tahan posisi. Tunggu target membuat kontak lebih dulu.]

 Feby melirik ke mobil, lalu kembali ke arahku. Ada gerakan kecil di bibirnya. Ia membuka mulut, lalu menutup lagi.

 > "Kalau aku beneran cium kamu, terus apa?"

 > "Artinya… aku berhasil," jawabku singkat.

 Ia terdiam. Lama.

 Lalu mendadak menoleh ke arah pintu café dan berujar:

 > "Masuk mobil. Lima menit aja. Kita selesaiin ini cepat."

---

Hujan di luar belum berhenti. Tapi hawa di dalam mobil jauh lebih dingin.

Aku duduk diam di kursi penumpang, napasku tidak teratur. Sementara itu, Feby menopang dagu di setir mobil, menatap lurus ke kaca depan yang berkabut.

> "Lucu ya," katanya tanpa menoleh. "Kamu bisa berdiri di depanku sekarang, ngomong pakai tatapan penuh percaya diri."

Ia menyeringai, pelan tapi menyakitkan.

> "Padahal kamu cuma kurir, Raksa. Cowok kampung, yang dulu aku... jijik buat sebutin namanya."

Aku diam.

> "Tapi nggak apa-apa," lanjutnya. "Aku suka eksperimen."

Ia akhirnya menatapku, pelan-pelan mendekat.

> "Malam ini aku kasih kamu satu hal yang bisa kamu banggakan seumur hidup."

Seperti yang kau inginkan.

> "Apa?" suaraku nyaris tidak terdengar.

> "Ciuman," jawab Feby, pelan. "Tapi setelah itu, kamu keluar dari mobil ini. Dan mulai besok, kamu siap-siap viral."

> "Viral?"

> "Aku tinggal bilang kamu maksa. Nggak perlu bukti. Cukup muka polos dan air mata palsu sedikit, 

kamu tamat. 

Ia tersenyum manis — senyum palsu.

> "Cium aku sekarang. Atau aku bilang kamu maksa aku bahkan tanpa nyentuh aku sama sekali. Pilih yang mana?"

Jantungku berhenti satu detik.

Feby meraih daguku, mendekatkan wajahnya sendiri.

> "Kamu pikir kamu bisa bikin aku penasaran? Kamu salah. Aku cuma pengen balikin kamu ke tempat kamu seharusnya: bawah."

Bibirnya menyentuh bibirku.

Singkat. Dingin. Sepi.

---

> [SISTEM: Misi 1 Selesai – FEBY ✅]

[Skill Diperoleh: Tatapan Penetrasi Lv.1]

[Peringatan: Target memiliki niat mencemarkan reputasi sosial. Level manipulasi: Tinggi]

[Proteksi Sosial Lv.1 Aktif – Jejak digital disembunyikan. Potensi laporan diputarbalikkan.]

---

Aku keluar dari mobil tanpa sepatah kata.

Hujan menampar wajahku, tapi tidak lebih dingin dari yang barusan.

Mobil melaju meninggalkanku. Seperti semuanya selama ini.

---

[SISTEM AKTIF – Detail Skill: "Tatapan Penetrasi Lv.1"]

Kemampuan membaca respons emosional spontan wanita

Dapat mengirim sugesti ringan lewat tatapan (efektif saat emosi target goyah)

Batas harian: 3x penggunaan

> "Ciuman pertama…" gumamku lirih.

"... dan rasanya seperti dikencingi dunia."

> "Skill ini nggak akan nyelamatin harga dirimu, Raksa," ucapku dalam hati.

"Tapi mungkin... bisa bantu kamu balas."

---

Kontrakan.

Aku masuk dalam diam. Duduk di tikar tipis. Lampu kuning temaram.

Sistem masih aktif di kepala, suara notifikasinya masih terngiang.

Tapi aku tidak merasa menang. Tidak merasa naik level. Tidak merasa apa-apa.

Aku hanya menggenggam tangan sendiri, dan menggumam:

> "Kalau ini permulaan, berarti neraka nggak jauh dari sini."

---

Malam itu panjang. Jam dinding tak berbunyi, tapi aku tahu waktu tidak jalan.

Aku menatap langit-langit kontrakan. Kipas angin gantung berderit pelan. Tubuhku kaku. Pikiran berputar.

Lalu…

[SISTEM AKTIF – MODE SIMULASI PERINGATAN]

["Apakah kau siap melihat akibat jika sistem tak memberi perlindungan?"]

---

Simulasi 1: Tanpa Perlindungan Sistem

Kamera ponsel Feby aktif, suara rekamannya diputar ulang:

> "Dia maksa aku. Di mobil. Aku takut…"

Grup WhatsApp alumni mulai heboh

Postingan dengan nama dan foto Raksa menyebar cepat

Klip diedit, dibuat seolah dia menangis

Pekerjaan MC sebagai kurir langsung ditangguhkan

Polisi mendatanginya

> "Kamu bebas, karena tidak cukup bukti. Tapi nama baikmu… sudah jadi abu."

---

Aku duduk, terdiam. Tangan mengepal.

> "Gitu ya… itu niat dia."

[SISTEM: Simulasi selesai. Proteksi Sosial Lv.1 telah menetralkan semua kemungkinan tersebut. Namun…]

> "Setiap skill yang kamu dapat… datang bersama harga."

---

Aku berdiri. Keringat dingin menetes.

> "Kalau ini harga dari satu ciuman… gimana dengan sembilan lainnya?"

[SISTEM: Target selanjutnya sedang dalam pemindaian...]

---

Aku keluar rumah, masih dengan pikiran kacau.

Di luar, pagi baru saja membuka tirai. Seorang perempuan sedang mengangkat galon di depan rumah sebelah.

Lengannya berotot ringan, rambutnya dicepol rapi, memakai daster sutra dan sandal rumah mahal.

Dia janda. Tetanggaku. Pemilik toko kosmetik dua ruko dari sini.

Namanya…

> RITA.

Seketika, sistem berbunyi:

> [TARGET BARU TERDETEKSI – RITA]

Status: Janda. Emosi: Kesepian 47%, Waspada terhadap pria muda 31%, Rasa ingin dikagumi 68%.

Misi Awal: Buat dia mengundangmu masuk ke dalam rumah dalam 3 hari.

---

Aku menatap punggung Rita yang masih bergumul dengan galon.

Dia mengumpat pelan.

Aku tersenyum… setipis luka yang belum sembuh.

> "Feby nyium aku buat ngebunuh nama aku.

Tapi janda ini… mungkin bisa nyelametin ego aku."

---