Bagian 1 – Langkah Menuju Lubang Kegelapan
Langit pagi masih kelabu saat langkah Ye Tian menginjak tanah bebatuan yang mengelupas, menandakan ia telah memasuki wilayah terlarang — Lembah Tulang Hitam, tempat yang hanya disebut dalam bisik-bisik para pengelana yang selamat dari mimpi buruk.
Tidak ada kehidupan di sana. Tidak ada burung, tidak ada angin. Hanya sunyi yang mencekik dan bau logam tajam yang mengambang di udara.
Namun bagi Ye Tian, sunyi adalah sahabat yang paling jujur.
Ia berjalan perlahan menyusuri jalur berbatu, di mana tulang-belulang makhluk purba mencuat dari tanah seperti penyesalan yang membatu. Tiap tulang seakan menyimpan jeritan dari masa lalu. Dan di bawah kakinya, tanah berdenyut… seolah jantung bumi menyimpan rahasia yang menolak untuk dikubur.
"Kutukan darah... tempat ini mengenalmu."
Sebuah suara, bukan dari luar, melainkan dari dalam pikirannya sendiri, bergema seperti detak gendang perang yang jauh.
Ye Tian berhenti.
Tanda kutukan di tangannya bersinar merah gelap, memancar lebih kuat dari biasanya. Suatu daya tarik gaib menarik tubuhnya ke arah celah sempit di balik batu besar. Ia memasuki celah itu tanpa ragu — dan langkahnya membawanya ke sebuah gua bawah tanah yang tidak pernah terdaftar di peta manapun.
Dinding gua berlapis kristal hitam pekat, dan udara di dalamnya dipenuhi kabut merah tipis.
Saat ia melangkah lebih dalam, suara itu muncul lagi — lebih jelas, lebih... hidup.
"Kau... yang mewarisi darah terkutuk… datanglah… satukan pecahan takdirmu…"
Tiba-tiba, di tengah ruangan, muncul altar batu yang mengapung di udara, dipenuhi ukiran simbol kuno. Di atasnya, melayang sebuah fragmen darah berwarna emas kehitaman, memancarkan tekanan spiritual yang membuat bahkan udara terasa lebih berat.
Mata Ye Tian membelalak.
"Fragmen... darah leluhur?" bisiknya.
Namun sebelum ia bisa mendekat, dinding gua bergemuruh. Dari bayangan di atas langit-langit, turun makhluk mengerikan — seekor Bone Shadow Beast, tubuhnya seperti gabungan bayangan cair dan tulang keras. Matanya berwarna biru menyala, dan tiap langkahnya menghancurkan lantai kristal.
Ye Tian mengangkat tangannya. Segel kutukan terbuka penuh.
"Kalau ini ujianmu, darah purba," ucapnya sambil menatap altar, "...maka izinkan aku menunjukkan bahwa aku memang pantas menjadi pewaris."
Dengan satu hembusan napas, tubuhnya diselimuti aura darah pekat. Bayangan hitam di punggungnya meluas membentuk siluet iblis bersayap — bentuk awal warisan bayangan abadi.
Dan pertarungan pun dimulai.
Bagian 2: Pewaris Darah yang Menantang Langit
Makhluk itu melompat, bayangannya menyebar bagaikan cairan kegelapan yang menelan cahaya. Suara raungannya menggema di seantero gua, menembus batu dan menusuk jiwa. Bone Shadow Beast, penunggu lembah yang hanya muncul ketika darah leluhur dipanggil… kini membuka rahangnya yang terbuat dari tulang belulang dan bayangan abadi.
Ye Tian tidak gentar.
Dengan satu hentakan kaki, tubuhnya melesat ke udara, menciptakan gelombang kejut yang memecahkan lantai gua. Tangan kanannya membentuk segel bayangan, dan dari balik punggungnya, cakar darah terhunus keluar, terbuat dari perpaduan Qi hitam dan energi darah surgawi yang meliuk seperti naga.
CLANGG!!
Serangan pertama mereka bertabrakan di udara. Bayangan dan darah menyatu, saling menggigit seperti binatang buas. Bone Shadow Beast mendesis, lalu membelah dirinya menjadi tiga kembaran, masing-masing menyemburkan racun hitam dari mulutnya yang terbuka.
Ye Tian menyipitkan mata. Di matanya, dunia melambat.
Penglihatan Tiga Kehampaan—teknik bawah sadar dari warisan kutukan—membuat semua serangan musuh terlihat seperti gerakan lambat dalam air. Ia membaca pola, memprediksi arah, dan menari di antara tiga serangan mematikan dengan kecepatan tak terbayangkan.
Dengan satu gerakan memutar, ia menjejak dinding gua dan meluncur turun seperti meteor, mengarahkan Cakar Kutukan Langit ke titik lemah di tubuh asli sang beast.
BOOOOMM!!!
Ledakan spiritual memekakkan telinga. Kabut dan serpihan batu beterbangan. Gua berguncang, dan dari balik asap, tubuh Bone Shadow Beast mulai retak—retakan itu menyebar seperti pecahan kaca, lalu... pecah menjadi bayangan yang menghilang.
Namun belum sempat Ye Tian menarik napas, darah Beast itu terserap oleh altar. Cahaya emas kehitaman meledak, membentuk lingkaran sihir yang menyelimuti Ye Tian dalam pelukan hangat... dan menyakitkan.
Tubuhnya bergetar hebat. Aliran darahnya seakan ditulis ulang.
Visi pun datang menghantam pikirannya.
Ia melihat siluet lelaki berambut perak yang berdiri di atas gunung mayat, memandang langit dengan mata penuh kebencian. Di belakang pria itu, ribuan makhluk bersayap hitam berlutut—dan di depannya, langit sendiri terbelah dua, memperlihatkan mata raksasa yang bersinar keemasan.
"Pewaris darahku… jika kau menerima beban ini… maka bersiaplah menjadi musuh dari langit, bumi, dan waktu…"
Lalu suara itu menghilang.
Ye Tian jatuh terduduk. Keringat dingin membasahi tubuhnya, tapi matanya kini bersinar lebih pekat. Di punggung tangannya, segel kutukan berubah bentuk—menjadi tiga lingkaran darah yang saling bertaut, tanda bahwa ia telah menembus tingkat pertama dari Warisan Darah Leluhur.
Aura di sekelilingnya berubah. Udara menjadi lebih berat. Bahkan batu pun mulai retak di bawah tekanan spiritual tubuhnya.
Namun sebelum ia sempat beranjak, cahaya samar muncul di balik gua—dan dari kegelapan, muncullah seorang perempuan.
Rambut putihnya tergerai panjang, wajahnya tenang dan dingin. Pakaiannya membawa lambang sekte Istana Salju Keabadian, dan pedangnya masih terhunus meski belum digunakan.
Bai Ningxue.
"Jadi benar kau di sini," ucapnya lirih. "Kau… telah membangunkan darah itu."
Ye Tian menatapnya, mata mereka bertemu dalam sunyi.
"Jika kau datang untuk menghentikanku..." ucap Ye Tian, "maka kau sudah terlambat."
Bai Ningxue tidak menjawab. Ia menatap altar, lalu kembali memandang Ye Tian dengan pandangan yang campur aduk—kekhawatiran, keterkejutan... dan sesuatu yang samar.
"Aku datang... bukan untuk melawanmu, Ye Tian. Tapi untuk memperingatkanmu. Langit telah mulai bergerak."
Dan dalam hening gua itu, dua takdir yang bertabrakan diam dalam senyap.
Namun di luar sana, langit yang kelam mulai bergetar.
Bagian 3: Tanda yang Membelah Takdir
Suasana di dalam gua berubah. Aura spiritual yang tadinya tenang kini terasa berat dan penuh tekanan. Batu-batu kecil terangkat dari tanah, melayang perlahan seolah gravitasi tidak lagi tunduk pada hukum biasa. Dalam diam, Ye Tian berdiri menatap Bai Ningxue yang masih belum menurunkan pedangnya.
Cahaya dari altar telah meredup, namun jejak kekuatan darah leluhur masih terasa di udara—terjalin dalam pori-pori gua dan meresap ke dalam kulit Ye Tian.
"Langit telah mulai bergerak, katamu?" Ye Tian akhirnya membuka suara, dingin dan tenang. Tapi suaranya seperti gemuruh di tengah badai.
Bai Ningxue mengangguk perlahan. "Sekte-sekte besar, terutama Kuil Surga, telah menerima wahyu. Sebuah kutukan lama... telah bangkit. Mereka menyebutnya sebagai Bayangan Abadi yang Terlahir Kembali."
Ia menatap langsung ke dalam mata Ye Tian. "Dan mereka tahu... itu kau."
Ye Tian tak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya memejamkan mata, mengatur napasnya. Setiap tarikan napas kini mengandung energi yang jauh lebih padat. Kekuatan itu bukan hanya miliknya—tapi warisan dari leluhur berdosa yang dilupakan sejarah.
"Biarkan mereka datang," ujarnya akhirnya. "Jika langit ingin menghancurkan satu orang karena mewarisi darah yang mereka benci... maka aku akan mengangkat pedang melawan langit itu sendiri."
Bai Ningxue menatapnya dalam, lalu perlahan menurunkan pedangnya.
"Aku seharusnya melaporkanmu. Membawa kepalamu ke aula utama dan menghapus jejakmu dari dunia ini," gumamnya.
"Tapi?"
"Tapi entah mengapa... aku tidak bisa." Suaranya bergetar, sedikit saja. "Kau masih Ye Tian yang aku kenal. Walau kini matamu membawa kegelapan yang bahkan langit pun takut menatapnya."
Ye Tian berbalik, punggungnya kini menghadap gadis itu. Tapi sebelum ia melangkah keluar dari gua, ia berkata dengan suara pelan namun mantap:
"Jika kelak kita harus berhadapan sebagai musuh... maka jangan ragu. Tebaslah aku."
Bai Ningxue tak menjawab. Namun ketika Ye Tian telah berjalan menjauh, ia menggenggam pedangnya lebih erat. Di matanya, air bening mulai berkaca.
---
Sementara itu, jauh dari Lembah Tulang Hitam, di dalam kuil tertinggi di puncak Gunung Surga, sepuluh siluet berjubah putih duduk mengelilingi piring giok penglihatan, yang kini memantulkan bayangan Ye Tian—dan altar darah di belakangnya.
"Dia telah bangkit... pewaris darah terkutuk," bisik salah satu tetua.
"Kutukan yang bahkan langit tidak sanggup menghapus… kini kembali bernapas."
Siluet tertua dari mereka semua—seorang lelaki renta dengan jenggot sepanjang lutut—membuka mata. Suaranya lemah tapi dingin seperti angin kutub:
"Segel Tertinggi harus dibuka. Dunia akan kembali terbagi antara darah langit... dan bayangan yang tidak pernah mati."
Dan dari langit yang jauh... awan mulai berubah warna.
---