Cherreads

Chapter 6 - 6. tempat baru

Kota Lintang. Sebuah kota besar dengan tingkat korupsi rendah karena di pimpin oleh seorang pemilik miracle yang pernah mengalami kecelakaan hingga menyebabkan dirinya kehilangan kedua kakinya. Wali kota itu sadar, jika saja dana untuk pembangunan tembok tidak dikorupsi maka ia dan teman-temannya kala itu tidak perlu berusaha mati-matian untuk mempertahankan tembok dari migrasi monster.

Maka dari itu ketika mendengar tentang kemunculan zombie beliau langsung kerja cepat, memasang medan pelindung tambahan, barikade di dekat gerbang dan jadwal patroli untuk pemilik miracle serta para Hunter.

Beliau menerima para pengungsi atau rakyat miskin yang biasanya tinggal di luar tembok. Menyediakan tempat tinggal berupa rumah susun dengan fasilitas yang sederhana.

Arvani tidak punya rencana apapun. Begitu tiba di gebang ia langsung diperiksa petugas apakah membawa virus atau tidak.

Ketika mereka bertanya tentang asal dan nama Arvani tetap diam. Dia tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.

Kalau dia berkata jujur itu akan sedikit merepotkan karena ia harus menjawab banyak pertanyaan lain. Melihat jika Arvani tetap diam membuat petugas mengira bahwa ia bisu.

"Lihatlah gadis menyedihkan itu. Siapa yang mau melindunginya?"

"Kau benar. Dia begitu menyedihkan."

Singkat cerita Arvani diantar menuju rumah susun di lantai 8, lantai paling tinggi sekaligus lantai yang paling sepi pengunjung.

Tak hanya itu, Arvani juga mendapat beberapa baju, makanan dan minuman untuk 5 hari kedepannya.

Selama 3 hari perjalanan panjang di zona berbahaya tak membuat Kensei ingin melatih Arvani atau semacamnya seperti di cerita-cerita fantasi. Pria itu hanya berbicara ketika dirinya ingin.

"Mereka terlalu baik." Kalimat pertama yang Arvani ucapan dari sekian lama.

Arvani melihat sekeliling lalu berjalan mendekati balkon kecil untuk menjemur pakaian.

'Ini pasti tidak gratis. Mungkin dalam 1 bulan jika tidak mendapat pekerjaan mereka akan membuangku.'

Buk!

Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Akan sulit bagi Arvani mencari pekerjaan yang bagus, dia tidak punya KTP walau sudah berusia 20 tahun, tak punya ijasah sekolah dan yang paling penting akte kelahiran.

'Ah, apa aku harus jual diri? Tidak, gawat kalau pelangganku rame. Mungkin ada beberapa pekerjaan kasar yang bisa aku lakukan.'

Keseharian Arvani kedepannya tidak terlalu seru untuk diceritakan. Dia bangun pagi, mandi, makan, dan berkeliling di sekitar rumah susun.

Entah karena beruntung atau apa perempuan itu mendapatkan seorang teman. Sekali lagi, Arvani yang saat ini berpura-pura bisu memiliki seorang teman.

Itu seorang wanita dengan badan yang bisa dibilang dapat memancing kaum adam, rambut merah maroon panjang, dan mata coklat. Dia juga seorang dokter yang hebat, namanya Mariposa.

"Hola Arvani~ Ini pagi yang indah untuk kembali tidur bukan?"

Pergi itu Mariposa datang berkunjung, dia mengetuk pintu dan ketika dibuka oleh Arvani Mariposa langsung masuk tanpa meminta ijin. Beruntungnya Kensei akhir-akhir tidak memberontak untuk keluar dari alam bawah sadar Arvani.

Bruk!

Dokter itu tidur di kasur Arvani sambil memeluk guling.

"Kau tahu Arvani, aku dengar rumor dari pasien kalau akhir-akhir pemerintah berhasil menekan jumlah zombie. Apa kau tahu kota Gotan?"

Arvani yang sedang mengambil segelas air dari galon tersentak. Itu nama kota tempatnya tinggal selama ini.

"Wali kota Gotan saat ini sedang ditahan karena dugaan korupsi. Dana yang seharusnya digunakan untuk keamanan tembok malah di buat foya-foya, kota itu hampir hancur karena serangan zombie."

Keringat dingin mulai keluar dari dahi Arvani. Ia mengkhawatirkan kondisi Pak tua yang telah merawatnya.

"Untung saja pihak DKK bertindak cepat jadi banyak warga yang diselamatkan dan kota itu berhasil bertahan."

Arvani menghela nafas lega dalam hatinya. Perempuan berambut hitam itu mengambil sebuah mie instan dari lemari dan mulai memasaknya.

Mariposa sekarang diam. Mungkin dia sebentar lagi akan tidur karena sudah mengatakan semua yang ia ingin katakan pada Arvani.

.

.

.

Tok! Tok! Tok!

Ketika hendak mencuci piring bekas ia makan, Arvani mendengar suara ketukan pintu. Ia menyelesaikan kegiatannya dulu lalu berjalan menuju pintu.

Dari lubang pintu ia melihat seorang pria tinggi berkacamata hitam menggenakan jaket kulit hitam dengan kaos putih polos. Pria itu memasang senyuman ramah seolah tahu si pemilik rumah sedang melihat melalui lubang pintu.

Dengan sedikit rasa waspada Arvani pun membuka pintu.

"Halo, namaku Arbi. Aku mencari wanita bernama Mariposa, apa dia ada di sini?"

Arvani lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang berisikan kata-kata singkat yang sekiranya sering ia gunakan sehari-hari.

Siapa kamu?

Membaca tulisan itu, pria bernama Arbi tadi menggaruk tengkuknya, gugup.

"Ah, aku rekan kerja wanita itu. Sungguh."

Arvani memperhatikan pria itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia lalu membalikkan beberapa lembar buku catatannya dan memperlihatkan sebuah kata.

Tunggu.

Arbi mengangguk sejenak lalu menunggu di luar dengan tenang. Selang beberapa saat terdengar suara benda jatuh dan rengekan seorang wanita yang Arbi kenal.

Brak!

Pintu di dobrak oleh Arvani yang menampilkan wajah sebal. Di bawah kakinya terdapat seorang dokter yang sedang merengek.

"Ayolah, Kim Tayoon~ jadilah pacarku~"

Inilah salah satu kebiasaan buruk dokter satu ini. Kalau sudah tidur dia bisa mengigau parah.

Arvani menatap tajam ke arah Ardi. Tatapan yang seolah meminta pria itu untuk segera membawa Mariposa pergi.

Ardi sendiri hanya bisa tertawa kecil. Ia lalu menggendong paksa Mariposa seraya meminta maaf pada Arvani.

"HUAAAA! JANGAN PISAHKAN AKU DENGAN PUJAAN HATIKU!"

Tiba-tiba tubuh Arvani menghilang di tempat. Sontak hal tersebut membuat Ardi panik bukan main.

"Apa yang sudah kau lakukan pada perempuan tadi Mariposa?!"

Mariposa yang kesadarannya masih belum kembali pun mengumumkan kata-kata yang tidak dimengerti Ardi.

"Hmmm.... Kau .. gak boleh bawa pacarku~"

"Dia bukan pacarmu sialan! Katakan padaku ke mana kau kirim anak orang itu?!"

Suara dengkuran kembali terdengar menandakan bahwa Mariposa telah kembali ke alam mimpinya. Adri mengacak-acak rambutnya gusar. Dirinya khawatir perempuan tadi mendapat masalah karena tiba-tiba muncul di suatu tempat yang tak dikenal.

Akan tetapi rasa khawatirnya menghilang ketika muncul pesan masuk dari bosnya.

Pesan itu memberitahu bahwa perempuan berambut hitam yang dihilangkan oleh Mariposa tadi sudah berada di ruangan bosnya. Adri pun merasa lega.

Pria berambut merah itu pun menggendong Mariposa layaknya karung beras dan turun melalui tangga menuju lantai satu.

Sementara itu, di utara kota Lintang, di sebuah rumah lama dengan model Victoria 3 lantai.

Arvani yang barusan muncul di sebuah ruangan kerja bertatapan dengan seorang pria muda, mungkin usianya sekitar 20 tahunan awal dengan rambut coklat berantakan dan mata kuning yang seakan menembus jiwanya.

Ketika Arvani hendak menuliskan sesuatu pada buku catatannya pria berambut coklat itu bersuara.

"Apa kau mau bergabung dengan Guildku?"

Arvani menggeleng.

"Begitu ya. Duduk dan tunggulah Ardi datang."

Pria itu menunjuk ke arah kursi tunggal di dekat meja kerjanya. Arvani pun duduk dan mulai memikirkan alasan ia berada di tempat ini.

Dokter Mariposa jelas merupakan seorang pemilik miracle dan ia kemungkinan besar bergabung dengan Guild yang dimiliki oleh pria berambut coklat itu.

Televisi dalam ruangan itu menampilkan sebuah berita tentang kematian seorang anggota keluarga bangsawan agung. Walau berasal dari keluarga cabang tentunya pihak keluarga utama takkan tinggal diam.

Mereka kini sedang mencari pelaku yang merupakan seorang pria bertopeng kelinci merah yang menutupi area hidung ke atas. Di bawah topeng tersebut terdapat kain merah tipis. Selain topeng pelaku juga mengenakan kemeja serta celana hitam, jas blazer berwarna krem, dan juga saputangan hitam.

Arvani memperhatikan postur tubuh pelaku pembunuhan itu dengan seksama.

Pandangannya lalu beralih pada pria berambut coklat yang sedang minum kopi membaca komik.

"Kelinci Merah itu kau ya?"

Uhuk!

Pria itu hampir saja tersedak kopi yang ia minum sendiri. Mata kuningnya menatap Arvani.

"Dari mana kau tahu?"

Arvani tersenyum kaku. "Cuman nebak."

"..."

More Chapters