Dua belas tahun sebelum perang ini, Kaelen bukan siapa-siapa.
Ia hanyalah putra seorang pandai besi yang kabur dari kampung karena pajak raja yang mencekik. Dalam perjalanannya, ia ikut jadi tentara bayaran di perbatasan, dipukuli, diludahi, dan dikirim ke garis depan sebagai umpan.
Dan di sanalah, ia bertemu Thoren.
Waktu itu, Thoren masih muda tapi sudah punya posisi: pemegang panji utama pasukan Utara. Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, dan matanya tajam tapi jujur. Ia melihat Kaelen berduel dengan tiga bandit hanya bersenjatakan parang rusak—dan malah tertawa.
> "Kalau kau bisa bertahan hidup hari ini," kata Thoren sambil melemparkan tombak cadangan, "aku traktir anggur. Kalau mati, ya… tombakku setidaknya terpakai dengan layak."
Mereka bertahan. Dan sejak itu, mereka bertarung berdampingan di lebih dari dua puluh pertempuran: dari pengepungan Kastel Ashmor, hingga pembebasan kota bawah tanah Sil-Dommar.
Thoren adalah satu-satunya orang yang pernah memanggil Kaelen "saudara", bukan "jenderal".
Ia yang menyelamatkan Kaelen saat kakinya hampir putus. Ia yang menarik Kaelen keluar dari lumpur saat perang berdarah di Sungai Elthen. Ia pula yang berkata:
> "Kau bisa jadi pemimpin, Kael. Tapi kau butuh seseorang yang menjaga punggungmu saat kau terlalu sibuk menyelamatkan dunia. Biar aku yang jaga itu."
Dan Kaelen percaya.
Lebih dari pasukan, lebih dari pedang, lebih dari apa pun—Kaelen percaya pada Thoren.
---
Tapi sekarang...
Di matanya, Thoren berdiri seperti batu, terlalu tenang. Dan Kaelen mulai bertanya:
> "Kalau seseorang yang menjaga punggungmu mulai berdiri di hadapanmu… apa itu berarti ia telah memilih sisi lain?"
---
Bab 7.5 selesai.