Cherreads

Chapter 17 - Eps17: Retakan di Dalan

Langit di atas Narthas terbuka oleh ledakan energi yang luar biasa. Tiga cahaya menyatunAbbas, Elira, dan Zhun telah berhasil membuat Val’Tharok mundur sementara, tapi bukan berarti kekuatan gelap itu melemah. Justru, awan hitam kini berkumpul di atas kota, memutar seperti pusaran yang tak berujung.

Val’Tharok tidak membalas serangan terakhir mereka. Ia menghilang begitu saja dalam pusaran kabut, meninggalkan suara menggema:

“Ketika malam benar-benar jatuh, tak akan ada satu pun dari kalian yang mengingat cahaya…”

Pasukan Eliran hampa pun ikut memudar, runtuh seperti abu. Kota Narthas senyap kembali, tapi keheningannya... bukan kemenangan. Hanya jeda.

Abbas jatuh berlutut. Nafasnya berat. Tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam. Bekas sinar Solara-nya masih menyala di dada, tapi warnanya semakin redup.

Elira menyentuh pundaknya. “Kau baik-baik saja?”

Abbas mengangguk pelan. “Untuk sekarang.”

Zhun berdiri tak jauh dari mereka, diam. Tak satu pun pasukan yang langsung menyerangnya. Mereka semua menatap, bingung... takut... atau marah. Tapi Abbas dan Elira tetap berdiri di antara mereka dan Zhun.

Zera mendekat, menodongkan pedang ke arah Zhun. “Dia pernah mencoba membunuh kita. Jangan lupa itu.”

“Dan tadi dia menyelamatkan kita,” jawab Elira cepat. “Dia bisa membiarkan Val’Tharok membunuh kita semua, tapi dia tidak melakukannya.”

Zhun hanya menunduk. “Aku tak minta dimaafkan.”

Abbas menatap Zera. “Tapi kau juga tak bisa menolak kenyataan bahwa dia baru saja menyelamatkan kota ini.”

Zera menggertakkan gigi, lalu menurunkan pedangnya perlahan. “Satu langkah saja dia berkhianat lagi... aku yang akan membunuhnya.”

Zhun menatap Abbas. “Kenapa kau percaya padaku?”

Abbas menjawab, suaranya rendah. “Karena... aku tahu rasanya berdiri di tepi. Dan berharap ada yang menarikku kembali.”

Malam hari di ruang perawatan benteng Narthas. Luka-luka diperban. Nyala lentera membuat bayangan panjang di dinding. Elira duduk di sisi ranjang Abbas, menatap wajahnya yang tertidur lelap.

Ia menyentuh tangan Abbas, lembut. Suaranya hampir tak terdengar.

“Jika kau harus menyerahkan semuanya... aku ingin kau tahu, kau tak sendiri lagi.”

Abbas membuka matanya perlahan. “Kau bicara pada orang tidur?”

Elira tersenyum. “Kau bukan benar-benar tidur, ya?”

Abbas menatap langit-langit. “Aku hanya ingin dengar apa yang kau katakan tanpa harus menjawab.”

Mereka tertawa kecil. Tapi tawa itu cepat memudar, digantikan oleh diam yang lebih dalam. Elira memandang luka di dada Abbas tempat di mana Solara pernah bersinar paling terang.

“Apa kau takut?” tanya Elira.

Abbas berpikir sejenak. “Takut kehilangan. Bukan diriku. Tapi orang-orang yang membuatku percaya bahwa hidup masih berarti.”

Elira menggenggam tangannya lebih erat. “Kau tidak akan kehilangan aku.”

Di bawah tanah benteng, Zhun duduk sendirian di ruang kosong yang dulunya adalah ruang doa. Cahaya lilin bergetar pelan di dekatnya. Ia menatap ke dinding, tempat ukiran dirinya dan Elira kecil masih terlihat samar.

Ia menyentuhnya, lalu menunduk.

“Aku tahu aku tak bisa kembali. Tapi jika aku bisa berdiri sekali lagi... bukan sebagai bayangan... setidaknya biarkan aku melindunginya.”

Suara langkah terdengar. Maelya masuk dengan tenang.

“Zhun.”

“Kenapa kau datang?” tanya Zhun tanpa menoleh.

“Untuk menanyakan satu hal,” jawab Maelya. “Apa yang kau lihat di Val’Tharok?”

Zhun terdiam. Lama. Lalu ia menjawab, perlahan.

“Bukan kekuasaan. Tapi... kehampaan. Dia bukan raja kegelapan. Dia adalah lubang tanpa dasar yang menelan semuanya. Bahkan niat baik.”

Maelya duduk di sampingnya. “Dan kau sudah terlalu dekat dengannya?”

Zhun mengangguk. “Terlalu dalam.”

Maelya menghela napas. “Lalu sekarang, kau harus menemukan jalan keluar. Bukan hanya untuk Elira. Tapi untuk dirimu sendiri.”

Keesokan harinya, seluruh pasukan berkumpul di alun-alun kota Narthas. Rakyat yang selamat berdiri di pinggir-pinggir jalan. Mereka tidak bersorak. Tapi mereka menatap pasukan Cahaya dengan rasa hormat yang dalam.

Kaelus naik ke atas panggung batu.

“Val’Tharok belum selesai. Tapi hari ini, kita tahu satu hal: bahwa ketika kita berdiri bersama, bahkan kegelapan pun bisa digerakkan.”

Ia menoleh ke Abbas, Elira, dan... Zhun.

“Pertempuran berikutnya tidak akan memiliki batas. Tidak akan ada dinding, tidak akan ada perisai. Yang ada hanya hati dan pilihan. Maka bersiaplah. Karena malam sebenarnya belum dimulai.”

Malam itu, Abbas duduk di menara atas Narthas bersama Elira.

Bintang-bintang bersinar. Angin membawa aroma dedaunan yang terbakar setengah matang.

Elira menyandarkan kepalanya di bahu Abbas. “Kalau kita tidak selamat dari ini... aku ingin mengucapkan ini sekarang.”

Abbas menoleh. “Apa?”

“Aku mencintaimu, Abbas.”

Abbas terdiam. Lalu memejamkan mata.

“Aku tahu... sejak hari aku hampir mati di tangan Zhun, dan kau menyentuh luka itu seolah lukamu sendiri.”

Ia memeluk Elira. Erat. “Aku mencintaimu juga.”

Di bawah langit yang bersih dari kabut, dua hati bersatu bukan untuk lari dari perang, tapi untuk menghadapinya. Dan jauh di bawah tanah... Val’Tharok membuka mata keduanya.

More Chapters