Cherreads

Chapter 21 - TAK PERNAH PERGI

Setibanya di kamar hotel, aku langsung melempar jas ke sofa kulit, melepas jam tangan, lalu berjalan ke kamar mandi.

Suara gemericik air mengisi keheningan kamar mewah itu. Aku membuka keran dan membasuh wajahku.

Air dingin menyentuh kulitku, namun yang kulihat di permukaan air bukan sekadar pantulan wajah seniman yang biasanya kupamerkan di atas panggung.

Kali ini aku melihat mata yang lelah. Mata yang dipenuhi pertanyaan, dan bayangan senyuman yang belum sempat kutanyakan namanya.

Dia.

Gadis di taman.

Gadis dengan rambut keriting dan mata yang nyaris menangis saat tersenyum.

Dan kemudian muncul bayangan lain.

Tatapan itu.

Tatapan dingin di luar restoran malam tadi, seakan bukan dari orang yang sama.

Ada kemarahan yang tidak aku mengerti.

Aku meneguk napas panjang,

lalu menyentuh dadaku.

“Kenapa kamu merasa ini terlalu dalam, Verez?” gumamku dalam hati.

“Dia bahkan bukan milikmu. Dia pasti sudah milik orang lain… atau menikah. Pria yang menjemputnya itu bukan teman biasa.”

Kusandarkan tubuhku ke dinding marmer, merasakan dinginnya menyusup tulang, berbeda dengan panas yang menjalari tubuhku dari dalam.

Bukan karena cuaca.

Tapi karena pertarungan batin,

yang sulit kujelaskan.

Aku kemudian membuka shower, membiarkan air mengalir di kepalaku, membasuh semua pikiran yang tak seharusnya tinggal.

Tapi wajah itu terus menghantui.

Selesai mandi, aku mengganti pakaian dengan jubah tidur berwarna krem. Kainnya lembut, tapi tak mampu menenangkan pikiranku.

Aku melangkah menuju ranjang, duduk di sisi kasur, dan menatap langit-langit kamar HôteldeCrillon yang tinggi dan dihiasi ornamen klasik.

Paris malam ini terlalu sunyi.

Atau mungkin aku yang terlalu bising di dalam kepala sendiri.

Aku mengingat ciuman itu.

Di taman.

Begitu lembut… begitu tulus… tapi juga begitu sesat.

Karena aku tahu aku mencium milik orang lain.

“Ingatlah Verez… dia bukan ciuman pertamamu.”

“Lalu kenapa kamu terus memikirkannya?”

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidak membayangkan rambut curly yang diterpa angin senja.

Dan saat itu... ponselku berbunyi.

Mataku terbuka perlahan.

Aku meraih ponsel dari nakas dan melihat satu nama yang sudah kupastikan tak ingin kulihat lagi.

Valerie.

Bip.

Pesanmasuk.

"Verez, tolong maafkan aku… Beri aku kesempatan lagi… Aku sudah tiga hari ini tidak bisa tidur tanpamu. Aku mohon... Aku dengar besok kamu konser besar. Aku sudah beli tiket. Aku datang ya."

-- Valerie

Aku terdiam.

Aku lupa memblokir nomornya.

Suasana kamar kembali membeku.

Kenapa dia masih mengejarku?

Apakah dia tidak cukup hancur saat kutinggalkan di lorong hotel tiga hari lalu?

Saat wajahnya memohon, tapi aku sudah terlalu lelah menjadi pilihan kedua setelah Pablo?

Aku menatap pesan itu tanpa ekspresi.

Lalu menaruh ponsel di meja tanpa membalas.

Aku berjalan pelan ke jendela besar kamar, membuka tirai sutra, dan menatap kota Paris dari lantai atas.

Cahaya lampu-lampu kota seperti menggelitik lukaku yang belum sembuh.

Tiba-tiba aku teringat…

Melodi lembut dari lagu lama yang dulu kumainkan sendiri dengan biola di balkon rumahku di Napoli.

Dengan jari gemetar,

aku menyalakan melodi itu dari ponsel.

Nada-nada hangat mulai mengisi udara kamar, membalut luka seperti selimut hangat di malam yang dingin.

Suaranya lirih, seperti bisikan masa lalu dan masa depan yang bertabrakan di titik sekarang.

Tanganku meremas bantal, dan perlahan aku merebahkan tubuhku ke ranjang.

Nada terakhir melantun, seiring mata yang mulai terpejam.

Dan malam itu, aku tidur.

Dengan wajah seorang asing yang terasa begitu familiar.

Dan pesan dari masa lalu… yang kuabaikan.

***

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan mantap dan semangat, seperti ada energi tak kasat mata yang berputar di sekelilingku.

Mungkin karena hari ini, sekali lagi, aku akan berdiri di atas panggung besar. Tempat di mana aku menjadi Verez, bukan sekadar pria yang mencium gadis asing di taman.

Tapi musisi yang dikenal dunia.

Yang menyatu dengan nada.

Setelah mandi dan mengenakan kemeja linen tipis berwarna krem, aku turun ke restoran hotel untuk sarapan.

Aroma kopi, mentega dari croissant, dan orkestra suara garpu di piring memenuhi ruangan.

Langit Paris saat itu cerah.

Langit biru yang bersih tanpa noda,

seolah turut memberkati hari ini.

Aku duduk di dekat jendela kaca besar, menikmati roti hangat dan jus jeruk, sambil mengingat jadwal hari ini, konser dimulai sore, tapi seperti biasa, akan ada gladi resik lebih dulu.

Tiba-tiba ponselku bergetar.

Satu pesan masuk.

"Kita kumpul jam 11 ya."

– Tristanio

Aku membalas cepat.

"Oke. See you."

Saat suapan terakhir menyentuh mulutku dan aku hendak kembali ke kamar, sebuah suara memanggil namaku dengan aksen Paris yang khas.

"Verez! C’est Verez! Mon dieu, c’est lui!"

Aku menoleh dan mendapati sekelompok orang bergegas mendekat.

Mereka.

Penggemarku.

Dalam hitungan detik, suasana restoran hotel berubah menjadi arena kecil kekaguman.

Ada yang meneriakkan namaku.

Ada yang mengangkat kamera, ponsel, dan bahkan kertas untuk ditandatangani.

“Vous êtes beaucoup plus beau en vrai !”

(“Kau jauh lebih tampan di dunia nyata!”)

“J’adore votre musique, Verez, surtout ‘Luna Perduta’ !”

(“Aku mencintai musikmu, terutama 'Luna Perduta'!”)

Sebagian mencoba menyentuhku, sebagian lagi mendorong temannya agar bisa lebih dekat.

Aku tersenyum, tetap ramah, meski langkahku jadi sulit.

Mereka bukan hanya penonton.

Mereka adalah saksi perjalananku, dari jalanan Napoli hingga panggung-panggung konser Eropa.

Namun, dalam kepadatan itu,

muncul sedikit kegelisahan.

Bagaimana mereka tahu aku tinggal di sini?

Apakah seseorang menyebarkan lokasi?Atau… Valerie?

Sebelum aku bisa menyimpulkan apa pun, seseorang menepuk bahuku.

“Excusez-moi! Pardon, laissez passer, manager!”

Dia muncul seperti pahlawan di tengah kerumunan

Seketika kerumunan pun membubarkan diri dengan teratur dan tertib. 

Vario.

Dengan rambut hitam disisir ke belakang, mengenakan coat panjang, dan membawa ransel kerja, dia menyelamatkanku dari kerumunan seperti biasa.

“I’m sorry I’m late,” katanya dalam bahasa Inggris saat kami berhasil masuk ke lift.

Nafasnya sedikit memburu.

Aku menyandarkan kepala ke dinding lift,

dan menatapnya dengan tenang.

“No worries. You’re right on time.”

Sudah tiga tahun Vario menjadi manajerku. Kami berasal dari negara berbeda, tapi komunikasi kami selalu lancar.

Profesional.

Tegas.

Tapi dia juga satu dari sedikit orang yang bisa membaca pikiranku, bahkan saat aku tidak bicara.

Kami tiba di kamar.

Vario menaruh tasnya, membuka laptop dan segera menyusun ulang rundown hari ini di atas meja.

“Ada yang tidak bisa hadir di sesi awal gladi, tapi semua sudah diatur. Lighting crew juga baru sampai dari Italia tadi malam. Kau akan coba stage jam 13.00. Tapi...”

Dia menatapku.

“Are you okay? You look... I don’t know. Different.”

More Chapters