Aku masih duduk di sudut favoritku di LeComptoirduRelais, dikelilingi suara tawa dan dentingan gelas dari teman-teman satu team dan satu kampung yang datang jauh dari Italia.
Lampu temaram restoran ini memantulkan rona keemasan di wajah-wajah mereka yang ceria.
Tristanio, sahabat masa kecilku, tidak berhenti bercanda sejak kami duduk.
Tawanya menggelegar, khas lelaki Napoli yang selalu tahu cara membuat orang lain tertawa.
"Ehi, Verez! Ti ricordi quando cantavi sul tavolo della Mamma Antonietta?"
(Ayo, Verez! Kau ingat waktu kau nyanyi di atas meja makan MamaAntonietta?)
serunya dalam bahasa Italia sambil menepuk punggungku keras-keras.
Aku hanya tersenyum,
mengangkat bahu.
“Si, lo ricordo.”
(Iya, aku ingat.)
Semua orang tertawa.
Gelas-gelas diangkat untuk bersulang.
“Facciamo un brindisi, amici!”
(Tos dulu, kawan!)
Tristanio berseru lagi.
Cangkir dan gelas beradu di udara.
"Alla musica! Alla vita!"
(Untuk musik! Untuk hidup!)
Semua bersorak, menyeruput minuman mereka. Aku ikut tertawa kecil, menyesap anggurku perlahan.
Tapi mataku, diam-diam, kembali melirik ke jendela di dekat meja kami.
Ada kursi di luar sana yang belum sempat ditempati siapa pun…
Fikiranku terus teringat seorang gadis dengan rambut keriting panjang dan mata yang tak bisa kulupakan.
Tapi di sana kosong.
Tidak ada yang berdiri.
Dia tidak kembali.
Aku mencoba kembali menaruh perhatian pada percakapan.
Rebecca, teman main biolaku yang terkenal dengan kehangatannya, mencondongkan badan ke arahku, tersenyum sambil menawarkan piring sandwichnya.
“Vuoi assaggiare il mio panino, Verez?”
(Verez, kau mau coba sandwichku?)
Aku menggeleng,
tetap dengan senyum tipis.
“No, sono pieno.”
(Tidak, aku kenyang.)
Rebecca tertawa pelan dan kembali menyandarkan diri ke kursinya, tampak tak tersinggung sedikit pun.
Dia memang selalu tahu bagaimana menjaga suasana tetap hangat tanpa mendesak.
Di antara kami semua, dialah yang paling sering mengisi kekosongan dengan obrolan ringan dan cerita konyol.
Obrolan berlanjut, semakin dalam ketika mereka mulai membahas konser esok hari di SalleGaveau.
Kami pun melanjutkan bincang-bincang yang artinya seperti ini.
“Aku dengar tiketnya sudah habis bahkan sebelum diumumkan resmi,” ujar Marco, pemain cello dengan bahasanya.
“Ya, aku dapat kabar dari tim promotor. Mereka menambah kursi di belakang,” sambung Tristanio.
Aku hanya mengangguk, sesekali menyisip komentar soal aransemen yang kami siapkan.
Mereka semua tampak antusias, dan sejujurnya… seharusnya aku juga begitu.
Tapi jiwaku tidak benar-benar di sini.
Saat yang lain membicarakan soal pencahayaan panggung dan peralihan nada dari bagian adagio ke allegro, pikiranku masih tertinggal di luar jendela, bersama siluet gadis yang tadi menatap ke arahku lalu pergi tiba-tiba.
Kenapa dia masih selalu menghantuiku?
Kenapa senyumnya terbayang seperti gema yang tak kunjung selesai?
Aku mencoba menghapus wajahnya dari kepalaku, menenggelamkan diri lebih dalam dalam tawa dan musik.
Tapi jujur saja, malam ini… musik tidak terdengar begitu merdu di restoran ini.
Perbincangan ini pun akhirnya berakhir saat hari menjelang tengah malam.
Kita semua siap untuk membubarkan diri.
Langit Paris malam itu seperti lukisan, penuh bintang dan hangat oleh lampu kota.
Angin musim semi berhembus lembut menyusuri RueRoyale, membawa wangi kue dari toko-toko yang mulai tutup, dan aroma lembut bunga dari taman-taman kecil yang tersebar di sepanjang jalan.
Aku berjalan perlahan meninggalkan restoran, membiarkan langkah membawaku tanpa arah pasti.
Timku, Tristanio, Rebecca, dan yang lainnya, tampak sudah lebih dulu kembali ke hotel masing-masing.
Aku hanya ingin menghirup udara malam.
Sendirian.
Malam itu Paris seperti menyimpan keheningan yang tak biasa.
Lampu-lampu kota memantul di jalanan basah, sementara suara klakson dan riuh lalu lintas mulai mereda.
Aku berjalan sendiri, meninggalkan restoran setelah sepertinya semua tim sudah kembali ke hotel.
Angin lembut berhembus saat langkah kaki lain terdengar di belakangku.
“Verez! Aspetta!”
(“Verez! Tunggu!”)
Suara itu… Rebecca.
Aku menoleh.
Rebecca menghampiriku dengan napas sedikit terengah. Ia masih mengenakan mantel hitam dan sepatu kulit tinggi.
Rambut pirangnya tergerai,
berkilau di bawah cahaya lampu jalan.
“Cammini sempre così veloce, come se stessi scappando da qualcosa.”
(“Kamu selalu berjalan secepat ini, seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.”)
Aku tersenyum samar.
“Forse lo sono.”
(“Mungkin memang begitu.”)
Kami berjalan berdampingan di trotoar Rue Royale. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
Rebecca menatapku ragu sejenak sebelum bertanya,
“Verez… sei ancora con Valerie?”
(“Verez… kau masih bersama Valerie?”)
Aku tidak langsung menjawab.
Malam ini terlalu tenang untuk diwarnai pertanyaan tentang dia.
Tapi aku tahu Rebecca hanya penasaran.
Dan aku lelah menyembunyikan apa pun.
“Ci siamo lasciati tre giorni fa.”
(“Kami putus tiga hari lalu.”)
Rebecca terdiam.
Lalu matanya membesar, mulutnya terbuka.
“Sul serio? Finalmente! Lo sapevo… quella donna non era fatta per te!”
(“Serius? Akhirnya! Aku sudah tahu… wanita itu memang bukan untukmu!”)
Aku tertawa kecil melihat reaksinya.
“Cosa vuoi dire?”
(“Maksudmu apa?”)
Rebecca mengangkat bahu, lalu menyentuh lenganku dengan cara yang akrab.
Bukan seperti kekasih, tapi seperti sahabat lama yang tahu sejarah luka di balik panggung musikku.
“So che stava ancora vedendo Pablo, anche mentre era con te. Lo sanno tutti a Napoli.”
(“Aku tahu dia masih bertemu Pablo, bahkan saat masih bersamamu. Semua orang tahu itu di Napoli.”)
Aku menghela napas panjang.
Nama Pablo seperti luka lama yang disiram garam. Tapi kali ini aku tak merasa sakit, hanya sedikit letih.
“Non importa più. Sono cambiato.”
(“Sudah tak penting lagi. Aku sudah berubah.”)
Rebecca tersenyum tipis, lalu berhenti di depan gang kecil menuju hotelnya.
“Va bene… allora buonanotte, Verez. A domani.”
(“Baiklah… selamat malam, Verez. Sampai besok.”)
“Buonanotte, Rebecca.”
(“Selamat malam, Rebecca.”)
Ia pergi sambil melambai, langkahnya ringan, senyumnya masih menempel di wajahku.
Ia berbalik ke hotelnya yang terletak dua blok dari restoran tadi. Sementara aku terus berjalan menyusuri RueSaint-Honoré, melangkah sendirian menuju Hôtelde Crillon.
***
Aku terus berjalan menuju HôteldeCrillon. Jalanan Paris terasa hangat malam itu. Tapi bukan karena cuaca.
Angin malam mengibaskan jas panjangku. Mobil-mobil melintas pelan, toko-toko sudah mematikan lampu, tapi Paris tak pernah benar-benar tidur.
Di kejauhan, MenaraEiffel terlihat seperti hantu emas di balik kabut tipis. Aku berhenti sebentar di perempatan, membiarkan mataku memandangi langit.
Malam itu… terasa ringan.
Mungkin karena Valerie sudah bukan lagi beban dalam hidupku. Mungkin karena luka-luka itu sudah tak lagi menyesakkan.
Atau… mungkin karena ada senyuman lain yang terus terbayang, gadis di taman itu.
Gadis berambut keriting panjang yang tak sempat kutanyakan namanya, tapi berhasil membuat langkahku terasa berbeda sejak hari itu.
Jalanan ini ramai.
Tapi aku merasa lebih sendiri dari sebelumnya.
Namun… anehnya, tidak kesepian.
Dan di kejauhan, samar… aku merasa, malam ini baru saja menuliskan satu bab baru dalam hidupku.
Bukan dengan Valerie. Tapi dengan dia, yang belum kutahu siapa.
Tapi entah kenapa… hatiku tahu, kisahku dengannya belum selesai.