Langit Paris menggantung abu-abu lembut siang itu, namun jalanan tetap hidup. Sepatu-sepatu mengayun di trotoar batu, gerobak baguette di pinggir jalan, aroma kopi dan debu klasik kota tua menyatu dalam satu irama.
Kareesa dan Sebastian memilih untuk turun dari mobil dan berjalan kaki sampai sore.
Mereka menyusuri RueSoufflot, tertawa kecil saat Sebastian memaksa Kareesa mencicipi crepes dengan topping jeruk.
Sebelum akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung konser kecil di dekat RuedeVaugirard.
“Wait, ini tempat apa?” tanya Kareesa, menghentikan langkahnya.
“Itu?” Sebastian melirik gedung itu sebentar.
“Oh, itu aula kecil buat komunitas musisi. Kadang mereka latihan atau presentasi karya di situ.”
Kareesa menoleh ke arah samping lobby gedung.
Dan saat itulah waktunya seolah terhenti.
Di balik kaca pintu, seorang pria berambut cokelat gelap dengan jas panjang dan biola di tangan kiri sedang berbincang hangat dengan dua musisi lainnya.
Ia tertawa kecil, sesekali mengangguk, aura percaya diri memancar dari posturnya yang tenang.
Itu dia.
Itu dia.
Pria itu.
Pria di taman.
Pria yang malam kemarin menciumnya tiba-tiba, lalu menghilang begitu saja dalam riuh malam di taman itu.
Jantung Kareesa berdebar tak karuan.
Ia ingin berbalik.
Ingin menyembunyikan wajah.
Namun kakinya seperti tertahan.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Sebastian, menyadari perubahan ekspresi Kareesa.
Kareesa menunduk cepat.
“Nggak, enggak apa-apa. Tadi silau aja…”
Sebastian menatapnya curiga.
Tapi ia memilih diam.
Ia hanya menoleh sebentar ke arah lobby gedung, lalu kembali menatap Kareesa.
Tanpa disadari Sebastian, Pria misterius itu belum sempat melihat mereka.
Ia masih tertawa kecil bersama teman-teman musisinya, terlalu tenggelam dalam diskusi nada dan simfoni.
Kareesa menarik napas panjang.
Ia segera membuang pandang,
berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Sementara Sebastian hanya menatap langit, lalu berujar santai,
“Paris selalu penuh kejutan, ya?”
Kareesa hanya tersenyum tipis.
Tapi hatinya tidak bisa berbohong.
Dan dalam diam, "Pria misterius itu " Perlahan kembali menyesaki sudut memorinya yang telah ia kunci rapat-rapat.
***
Sore itu, Sebastian dan Kareesa memutuskan untuk pulang.
Langit Paris terlihat berwarna keemasan, memantul indah di permukaan Sungai Seine yang tenang.
Burung camar beterbangan rendah, dan suara air mengalun lembut di antara kapal-kapal wisata yang mulai kembali ke dermaga.
Di tengah semua ketenangan itu, langkah Kareesa dan Sebastian terdengar pelan menyusuri trotoar batu yang menuju ke apartemen mewah keluarga Phillips, bangunan klasik bergaya Haussmann dengan balkon besi tempa dan jendela-jendela besar yang menatap langsung ke arah sungai.
Sebastian membuka pintu apartemen untuk Kareesa, seperti biasa, dengan sikap sopan seorang bangsawan.
Namun ada sesuatu yang berbeda sore itu.
Energi di antara mereka tidak sehangat biasanya.
“Kamu yakin nggak mau makan malam di luar?” tanya Sebastian pelan saat mereka melepas jaket di lorong.
Nada suaranya lembut, seolah berharap masih ada perubahan keputusan dari wanita yang kini menjadi tunangannya itu.
Kareesa mengangguk, tapi matanya tidak menatap Sebastian.
"Iya, Sebastian... makan malamnya besok saja," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan yang dihembuskan angin dari jendela terbuka.
Sebastian terdiam.
Jawaban itu tidak membuatnya sakit hati, tapi ada sesuatu yang aneh… seperti suara hati yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Ia memandangi Kareesa yang berjalan lebih dulu masuk ke dalam ruang tamu apartemen.
Siluet tubuhnya dibingkai oleh cahaya jingga dari jendela, dan di momen itu, Sebastian merasa seperti sedang melihat lukisan hidup yang indah, tapi jauh.
Sangat jauh.
Sebastian menyandarkan punggung ke dinding, lalu mengambil ponselnya.
Matanya menatap layar kosong sejenak… hingga kemudian dia membuka kalender.
Tangannya bergerak cepat.
Dia membuka situs acara seni dan musik yang biasa diakses para sosialita Paris.
Di sana, di antara daftar konser eksklusif dan pertunjukan teater klasik, matanya tertumbuk pada satu acara besar:
Pagelaran Musik di Salle Gaveau - dua hari lagi.
Matanya menyipit pelan.
Tadi siang… saat mereka berjalan menyusuri area dekat Rue Soufflot, Kareesa sempat terhenti.
Wanita itu menatap kerumunan penonton yang sedang berkumpul di taman, menyaksikan pertunjukan musik.
Wajah Kareesa saat itu bukan sekadar penasaran. Ada kerinduan di sorot matanya.
Ada sesuatu yang hidup dalam diamnya.
Dan itu terus terngiang di kepala Sebastian sampai sekarang.
Ia mengira itu hal sepele, tapi sekarang…
Sebastian mulai merasa ada celah kecil yang belum pernah ia masuki dari diri Kareesa. Celah itu kini terasa seperti jurang.
Tapi dia mencintai wanita itu.
Terlalu dalam untuk berpikir jernih.
Sebastian lalu duduk di sofa, menggulir ponselnya hingga menemukan kontak asistennya.
Tanpa pikir panjang, ia mengirim pesan:
“Pesankan dua tiket VIP untuk pagelaran musik di Salle Gaveau, dua hari lagi.
Pastikan posisi paling strategis.
Jangan beri tahu Kareesa.”
Lalu ia memandang ke arah kamar tempat Kareesa masuk beberapa menit lalu.
Di balik pintu itu, Sebastian tahu… ada kebingungan yang tak bisa ia jamah.
Tapi ia bertekad: jika ada cara untuk membuat Kareesa tersenyum lagi seperti dulu, ia akan mencobanya, bahkan meski itu berarti mengabaikan firasat hatinya sendiri.
***
Setelah makan malam bersama keluarga Phillips, Sebastian masih tampak gelisah di ruang kerjanya yang menghadap balkon apartemen. Ia masih mengingat senyum Kareesa sore tadi, meski tak selebar biasanya.
Ada yang berubah.
Seolah pikirannya teralihkan… tapi oleh apa?
Dengan pelan, ia membuka laptopnya, membaca informasi tentang agenda budaya di Paris yang sudah dia pesan.
Konser klasik tercantum di layar.
“Apa pesanan ini sudah benar…?” gumamnya pelan sambil mengeklik detail sebuah konser yang akan digelar di Salle Gaveau, dua hari lagi.
Sebuah konser eksklusif untuk penggemar musik klasik dan kontemporer, dengan jajaran pemain biola dari berbagai penjuru dunia.
Ia tersenyum kecil.
“yang penting Kareesa suka.”
***
Keesokan paginya, Sebastian menghampiri Kareesa yang sedang duduk membaca di ruang tengah apartemen.
“Aku ada kejutan kecil,” katanya pelan, tapi antusias.
Kareesa menoleh, tersenyum lembut. “Kejutan apa lagi, Mr. Phillips?”
Sebastian duduk di sampingnya dan mengeluarkan dua tiket dari amplop kulit cokelat.
“Kita nonton konser, lusa malam. Di Salle Gaveau. Mereka bilang akan ada beberapa maestro biola dari berbagai negara.”
Mata Kareesa sedikit membulat.
Napasnya tercekat sepersekian detik.
Biola.
Kata itu langsung menarik pikirannya pada sosok lelaki misterius di taman… lelaki yang sempat ia lihat lagi kemarin di lobi gedung itu.
Tapi ia menahan diri. Ia tak boleh gegabah.
“Wah… ini bakal jadi pengalaman pertama aku di konser musik klasik.” Senyumnya tulus, meski hatinya mulai bertanya-tanya.
Apakah mungkin… dia ada di sana juga?
“Perfect. Aku juga belum pernah ajak gadis ke konser seperti ini sebelumnya,” jawab Sebastian, tanpa menyadari bahwa detak hatinya mulai bergerak di luar kendalinya.
Ia tidak tahu… bahwa satu langkah kecil menuju konser itu bisa jadi langkah menuju rahasia yang tak pernah ia bayangkan.
Dia tidak tahu… bahwa konser itu bukan hanya tentang musik.
Tapi tentang satu nama yang tak pernah ia duga…