Langit Paris malam itu tampak temaram, ditaburi lampu jalan yang berpendar hangat di sepanjang trotoarSaint-Germain.
Sepasang kekasih berjalan cepat meninggalkan restoran LeComptoirduRelais, menyusuri pinggir jalanan berbatu dalam diam.
Sebastian tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi dia tahu dari cara langkah Kareesa yang cepat, nyaris terburu-buru seolah mengatakan dalam bahasa tubuhnya, bahwa gadis itu sedang tidak ingin berbicara.
“Kareesa,” panggilnya pelan, hampir tertelan suara malam. “Apa yang terjadi?”
Gadis itu tidak menjawab.
Tatapannya lurus ke depan, sesekali menatap pantulan lampu restoran dari genangan air hujan yang belum mengering.
Kareesa tidak tahu kenapa dadanya terasa sesak hanya karena melihat pria asing yang belum ia kenal namanya, pria yang hanya ia temui sekali di taman, sedang dipeluk wanita lain.
Tapi ada yang menyentuh hatinya waktu itu. Ciuman mereka.
Tatapan pria itu.
Senyuman pria itu.
Suara biola di taman yang menggema di benaknya setiap kali ia mencoba melupakannya.
Mereka menaiki mobil yang menunggu di depan.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen mewah keluarga Sebastian di tepi Sungai Seine, mereka tetap diam.
Hanya suara mesin dan lalu lintas Paris yang menemani mereka.
Begitu memasuki lobi bangunan klasik bergaya Haussmann itu, Sebastian masih mencoba memahami suasana hati tunangannya.
Setelah lift berhenti di lantai tertinggi, mereka melangkah ke dalam apartemen dengan langit-langit tinggi, jendela kaca besar, dan tirai sutra yang bergoyang pelan ditiup angin malam.
Di ruang utama,
lampu kristal menyala lembut.
NyonyaPhillips, wanita anggun berambut perak yang sedang duduk membaca buku, segera menoleh begitu melihat mereka masuk.
“Oh, kalian sudah pulang?” tanyanya terkejut.
Sebastian menyahut sambil melepas mantelnya, “Dia tidak mau makan, Mom. Katanya restorannya terlalu ramai.”
Nyonya Phillips menaikkan alisnya. “Padahal Kareesa yang memilih tempat itu, bukan?”
Kareesa melepas mantelnya pelan,
seolah tak ingin didengar.
Lalu dengan suara datar, ia berkata,
“Aku mau spaghetti saja.”
Ucapan itu menggantung sejenak di udara, seperti tidak sesuai dengan suasana hati yang mereka rasakan sebelumnya.
Namun Nyonya Phillips segera tersenyum dan menepuk tangan memanggil seorang pelayan dapur,
“Baiklah. Jean, tolong buatkan spaghetti terbaik untuk calon menantu saya malam ini.”
Seorang pelayan membungkuk,
dan segera beranjak ke dapur.
Sebastian hanya berdiri mematung di ambang pintu ruang makan, menatap Kareesa yang kini duduk di kursi, memeluk lututnya diam-diam.
Ia tampak lelah, bukan secara fisik, tapi batinnya bergelombang.
“Are you okay?” tanyanya lembut.
“I’m okay,” jawab Kareesa tanpa menoleh.
Tapi Sebastian tahu, kalimat itu hanyalah tameng. Matanya tak bersinar seperti biasanya, senyumnya menghilang.
Ia tampak seperti seseorang yang sedang berpura-pura kuat.
Nyonya Phillips berdiri dan menghampiri Kareesa, menepuk bahu Kareesa lembut.
“Sudahlah. Makan malam di rumah lebih nyaman. Kau sepertinya butuh ketenangan.”
Kemudian wanita tua itu pergi ke kamarnya, meninggalkan keduanya di ruang makan yang kini terasa lebih besar dan sunyi.
Sebastian duduk di seberang Kareesa, menatapnya dalam diam.
Gadis itu mengusap rambutnya ke belakang telinga, dan membuang napas pelan.
Dia mencoba mengusir bayangan pria itu, pria asing yang wajahnya hanya dia lihat tiga kali, tapi kini tinggal di benaknya seperti melodi yang tak kunjung selesai.
Sebastian ingin bertanya lebih jauh.
Tapi ia menahan diri.
Bukan malam ini.
Ruangan itu terlalu senyap.
Meskipun chandelier kristal berkilau di langit-langit apartemen mewah milik keluarga Phillips, dan angin dari balkon membawa harum bunga lavender dari pot-pot Prancis di luar jendela, Sebastian hanya mendengar satu hal, detak jantungnya yang gelisah.
Ia terus menatap Kareesa yang duduk diam di ujung sofa beludru berwarna hijau zamrud.
Wajah gadis itu menghadap televisi, namun matanya tak mengikuti satu pun alur cerita yang diputar.
Sebastian menarik napas pelan.
“Kalau ada yang ingin kamu katakan… katakanlah kepadaku,” suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang takut ditolak.
Kareesa menoleh perlahan.
Sekilas.
Lalu kembali memalingkan wajahnya.
“Tidak ada, Sebastian. Aku hanya lelah. Dan perutku juga sakit... Sepertinya aku… mau datang bulan.”
Sebastian diam sejenak.
Ia bukan orang yang paham ritme tubuh wanita, dan ia pun tak pernah benar-benar tahu bagaimana harus menanggapi itu.
Tapi ia mencoba…
setidaknya mencoba memahami.
“Oh… oke…” jawabnya perlahan. Ia membenarkan duduknya, menyandarkan punggung ke sofa, tangan menggenggam lutut sendiri.
“Kalau kamu butuh apa-apa, aku.....”
“Aku tahu,” potong Kareesa cepat, lalu menunduk.
Sebastian memandangnya dalam-dalam.
"Aku mencintaimu apa adanya, Kareesa," kata Sebastian dalam hati.
"Meskipun itu harus melukai hatiku, aku siap selalu ada di sampingmu..."
Ia mendekat pelan, memeluk Kareesa dari samping. Aroma lembut rambut Kareesa masih seperti yang ia kenal, beraroma vanilla, dan sedikit chamomile.
Tapi tak ada kehangatan dari tubuhnya.
Kareesa tidak menolak, tapi juga tidak membalas. Seperti memeluk angin.
Sejak malam di taman itu, sejak ia menemukannya berdiri bersama seorang pria di bawah cahaya lampu jalanan dekat Pantheon, Sebastian tahu:
ada sesuatu yang berubah.
Kareesa yang dulu selalu bercerita dengan mata berbinar kini menjadi seperti puzzle yang kehilangan potongan-potongan utamanya.
Dingin.
Diam.
Terlalu sering menghindar.
Dan itu menyakitkan.
“Tuan Sebastian, Nona… spageti-nya sudah siap,” suara pelayan terdengar dari arah dapur, sopan dan lembut, seolah menyadari ketegangan emosional yang menggantung di udara.
Sebastian mengangguk kecil, tanpa kata. Tatapannya berkata "terima kasih", dan pelayan itu pun pergi meninggalkan mereka kembali dalam keheningan.
“Ayo kita makan dulu, Kareesa…” ajaknya, setengah memohon.
Kareesa hanya melirik.
Televisi masih menyala, memperlihatkan cuplikan berita ringan tentang opera lokal yang entah mengapa terasa begitu jauh dari kenyataan hatinya malam ini.
Dia berdiri tanpa banyak bicara, dan bersama Sebastian berjalan menuju ruang makan.
Langkah mereka berdua bergema di lantai marmer putih yang dingin, berkilau di bawah lampu gantung.
Tak ada genggaman tangan, tak ada percakapan kecil.
Hanya langkah kaki… dan jarak yang tak terukur meski mereka berjalan berdampingan.
Di ruang makan, meja oval dari kayu oak tua telah ditata rapi. Dua piring porselen putih dengan ukiran emas dipenuhi spageti yang mengepul harum, saus tomat segar yang dibuat dengan resep keluarga Phillips.
Sebastian menarikkan kursi untuk Kareesa.
"Silakan duduk."
"Terima kasih," jawab Kareesa singkat.
Mereka duduk.
Makan bersama.
Dan saling diam.
Di luar, angin meniup gorden tipis ke dalam, membawa dingin malam Paris.
Tapi di dalam, dua hati yang pernah saling menghangatkan… kini mulai membeku perlahan
Sebastian menatap Kareesa dengan datar, Kareesa hanya menunduk melihat spagetti yang sepertinya bukan seleranya.