Cherreads

Chapter 3 - PERTENGKARAN UMUM

Pria itu berkali-kali menepis genggaman si wanita.

Mereka masih terus bertengkar dalam bahasa universal yang bisa kudengar dengan jelas dan kumengerti.

Sepertinya mereka bukan orang Prancis. Aksen mereka sangat fasih dan lancar dalam bahasa Inggris.

Begitu alami, seperti sudah terbiasa berbicara dalam bahasa itu sejak lahir.

Aku masih memperhatikan mereka dari kejauhan, diam-diam merenung.

'Hmm…ternyata, masih ada pasangan yang bertengkar di depan umum seperti itu.'

Bahkan di kota seindah ini.

Entah mengapa, aku semakin terbawa suasana di taman itu.

Seolah-olah terlalu asyik menyaksikan pertunjukan emosi dua orang yang hatinya sedang berantakan.

Bukan karena aku ingin mencampuri urusan mereka, tentu saja tidak.

Tapi karena aku tahu betul bagaimana rasanya berada di salah satu sisi dari pertengkaran itu.

Rasanya... seperti melihat ulang cuplikan hidupku sendiri.

Orang-orang yang lalu-lalang di sekitar mereka pun bersikap serupa.

Ada yang sekilas menoleh, lalu segera berpaling.

Ada yang pura-pura tidak mendengar apa pun.

Seolah pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi di kota ini.

Paris memang penuh cinta, tetapi juga tidak kekurangan luka.

Aku pun melihat sekeliling, dan pandanganku tertumbuk pada sebuah kursi taman yang kosong, tidak jauh dari tempatku berdiri.

Perlahan aku duduk.

Tubuhku terasa makin menggigil oleh hembusan udara malam yang dingin dan lembap.

Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menyimpan sedikit hangat di balik sweaterku yang ternyata tak cukup tebal untuk suhu malam seperti ini.

Napasku keluar dalam bentuk uap tipis, seperti asap yang bermain-main di udara. Kadang naik, kadang buyar tertiup angin.

Sambil menghela napas, aku kembali menoleh ke arah pasangan itu dari bangku panjang berbahan besi di pinggir taman kota. Lampu-lampu taman menyinari wajah mereka dalam bayang cahaya keemasan.

Suasana ini seperti lukisan hidup yang indah, tapi menyimpan cerita getir di balik warnanya.

Di belakang tempatku duduk, tumbuh sebuah pohon besar yang telah meranggas.

Namun tetap saja, ia tak memberi kehangatan sedikit pun di tengah dinginnya malam. Meski langit terang, udara beku masih menyelimuti taman dan kota ini.

“Enough! I’m tired of hearing your empty words of love!”

( Cukup! Aku bosan mendengar kata-kata cintamu yang kosong!)

teriak si pria dengan nada tinggi, membuat wanita itu tersentak.

Ia mendekatinya sambil menahan tangis yang nyaris pecah.

Aku kembali menatap mereka tajam, dari kedua bola mataku.

Sementara dari sudut pandangku yang lain, aku sempat melirik ke sisi kanan.

Ternyata aku tak sendiri, tempat ini cukup ramai.

Tapi seperti sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang peduli dengan pertengkaran ini.

Begitu pun aku... awalnya.

“Darling… please… I love you so much… don’t leave me… please… just give me one more chance…”

( Sayang… kumohon… aku sangat mencintaimu… jangan tinggalkan aku… kumohon… berilah aku satu kesempatan lagi…)

Suara gadis itu lirih, nyaris tenggelam dalam isaknya yang memilukan. Ia memohon, terus memohon.

Sungguh pemandangan yang menyayat, meski tetap terasa sedikit dramatis berlebihan.

Dalam hati aku bergumam,

'angkuh sekali pria itu...'

Perempuan itu pun memeluk pasangannya erat-erat, seperti sedang mempertaruhkan seluruh hidupnya pada pria itu.

'Apakah Valerie juga pernah mencintaiku seperti ini?'

Tiba-tiba bayangannya muncul lagi di kepalaku.

Sial...

'Ya Tuhan... hilangkanlah segala tentang dia dari pikiranku,'

doaku dalam diam, sambil memejamkan mata.

“No. There’s no more chance for you,”

( Tidak.Tidak ada lagi kesempatan untukmu,)

ucap pria itu dengan dingin, suaranya seperti pisau yang menusuk hati.

Dan benar saja, tanpa ragu pria bertubuh besar itu melangkah pergi, meninggalkan gadis itu berdiri sendiri, menggigil, hancur dalam isak.

Aku bisa melihat jelas kesedihan dan ketulusan dari mata gadis itu, walau pun aku hanya penonton asing di bangku taman yang dingin ini.

Tiba-tiba, gadis itu menoleh ke arahku, ke tempat aku duduk tak jauh dari posisinya berdiri, masih terisak pelan.

Tatapannya singkat, namun cukup tajam untuk membuatku sadar bahwa dia menyadari keberadaanku.

Barangkali dia tahu sejak tadi bahwa aku menyaksikan detik-detik dirinya dicampakkan oleh pria yang baru saja berlalu.

Tapi aku tak bergeming.

Aku berpura-pura tidak peduli.

Entah siapa dia, gadis dengan luka yang baru saja dibuka lebar di depan umum.

Beberapa saat kemudian, dia berbalik dan melangkah pergi.

Langkahnya cepat, sedikit terburu, menjauh dari pria yang baru saja meninggalkannya. Mereka saling berlawanan arah.

Mungkin karena rasa malu... mungkin karena harga dirinya telah diinjak.

Atau mungkin karena hatinya benar-benar hancur.

Aku memperhatikan setiap gerak langkahnya. Rambutnya bergoyang saat ia setengah berlari, menghilang di balik deretan gedung-gedung tinggi di sisi taman.

Dan lagi-lagi, bayangan Valerie muncul di benakku.

'Apakah Valerie pernah sesedih itu saat aku tinggalkan?'

'Apakah luka yang kutinggalkan padanya juga seperti luka di mata gadis itu tadi?'

Tidak mungkin.

Valerie tidak seperti dia.

Valerie bukan gadis yang mudah hancur. Valerie terlalu licik untuk bisa patah hati.

Aku menggeleng pelan, mencoba menepis bayangannya.

Tapi, pertengkaran yang baru saja kusaksikan tadi seperti memaksa pikiranku menampilkan kembali wajah Valerie.

Tatapannya.

Isaknya.

Dan kejamnya pengkhianatan yang pernah kulihat dari balik punggungnya.

Kesal.

Aku semakin kesal.

“Huhh...”

Napas berat mengalir dari paru-paruku, hangat sebentar sebelum berubah menjadi uap dingin yang menghilang di udara.

Aku menunduk, menatap tanah basah dan dedaunan gugur yang diam tertiup angin Paris malam ini.

Di saat aku terus terpaku dalam lamunan, aku tak sadar bahwa pikiranku telah membawaku terlalu jauh.

Hingga sosok gadis yang tadi pergi dalam isak tangis, yang sempat menarik perhatianku, kini benar-benar menghilang dari pandanganku.

Mungkin, dia pergi dengan rasa kecewa yang dalam.

Mungkin juga kesepian.

Kekasihnya baru saja mencampakkannya.

Dan yang jelas, dia bukan Valerie.

“Excusez-moi, monsieur, puis-je m’asseoir à côté de vous ?”

(Permisi, tuan, bolehkah aku duduk di sampingmu?)

Suara lembut itu membuatku tersentak dari lamunanku.

Aku menoleh ke samping, mendongakkan kepala perlahan.

Seorang gadis berdiri di sampingku, lalu melangkah setapak ke depan, tepat di hadapanku, tempat aku tengah menikmati sepi.

Aku mendongak, menatap wajahnya yang anggun.

Dan satu kata langsung terlintas di pikiranku: Menarik.

Gadis ini berbicara dengan bahasa Prancis yang agak terbata. Aksen asingnya jelas terdengar.

Ia mungkin mengira aku penduduk lokal.

Namun, dari wajahnya yang lembut, kulitnya yang kuning langsat, serta matanya yang bersinar tenang, aku bisa menebak dengan mudah, dia bukan orang Prancis.

Dia gadis ras Asia.

Sepertinya dia juga tak bisa membedakan mana orang Prancis dan mana bukan.

Barangkali, karena perawakanku lebih menyerupai orang Eropa: hidung yang cukup mancung, mata yang seperti lensa, dan postur tubuh yang tinggi.

Tapi kulitku exotic.

'Begitulah tampangku... terlalu asing untuk dikira berasal dari negeri sendiri,'

gumamku dalam hati, dengan sejumput kebanggaan yang tersembunyi.

Senyum tipis pun tak sengaja terukir di wajahku, menyambut wanita berambut keriting lembut di depanku itu.

Aku memandang gadis ini.

Aku tak kenal siapa dia, tetapi dia jauh berbeda dengan Valerie.

Matanya pun tak sebiru Valerie, aku dapat melihatnya dari dekat.

Matanya coklat, rambutnya pun cokelat pekat kehitaman dan keriting panjang.

Tubuhnya pun tak setinggi Valerie. Kulitnya tak sepucat Valerie.

Itulah yang dapat kutelaah dari sosok wanita yang menatapku dengan senyum manis itu.

“Oui, s’il vous plaît.”

(Ya, silakan…)

Jawabku dalam bahasa Prancis, membuat wanita itu semakin yakin bahwa dia tak salah menyapaku sebagai orang lokal.

Aku pun sedikit menggeser posisi dudukku dan memberi ruang untuknya.

Wanita itu pun duduk di sampingku.

Kursi yang semula luas, kini terasa menyempit.

“Monsieur, avez-vous froid ?”

(Tuan, apakah Anda merasa kedinginan?)

Wanita itu membuka percakapan, sambil melirik sweater tebalku yang kupeluk erat karena dingin.

“Oui.”

(Ya.)

Jawabku santai dan singkat.

“Êtes-vous seul, monsieur ?”

(Apakah Anda sendirian, Tuan?)

Tanyanya lagi, lembut.

“Oui.”

Lagi-lagi aku menjawab singkat, sambil menatap wajahnya.

Wanita berambut ikal keriting itu pun tak tampak kesal.

Dia hanya tersenyum manis, lalu menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, namun tetap bercahaya oleh lampu-lampu trotoar taman.

Bersambung... .

More Chapters