“Monsieur, est-ce que ce parc est toujours animé ?”
(Tuan, apakah taman ini selalu ramai?)
Wanita itu terus mengajakku berbicara dengan pertanyaan yang sebenarnya tak penting bagiku.
Bahkan aku pun tak tahu apa yang harus kujawab.
Aku menoleh padanya dan memandang dari samping, meskipun dia tak menatap balik padaku.
“Je ne sais pas, mademoiselle.”
(Aku tak tahu, nona...)
Jawabku singkat, dengan bahasa Prancisku yang lancar.
Dan itu membuatnya semakin yakin bahwa aku adalah orang asli Prancis.
Sambil berbicara, sesekali aku menatap wajahnya yang begitu dekat.
Wanita itu terus saja tersenyum, bahkan sesekali tertawa kecil sendirian.
Kemudian, dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah kutemui dari Valerie: tulus dan manis.
“Où habitez-vous ?”
(Di mana Anda tinggal?)
Tiba-tiba wanita ini mulai bertanya tentang diriku.
Aku sedikit terkejut mendengarnya.
Tapi, aku mulai tidak nyaman dengan arah pertanyaannya.
Namun… aku tetap menyukai caranya tersenyum padaku.
“Ça ne fait rien. Je n’aime pas parler de ma vie personnelle.”
(Sudahlah. Aku tidak suka berbicara tentang kehidupanku.)
Jawabku sedikit ketus.
Aku mulai resah dengan percakapan ini, dan sepertinya nadaku membuatnya terlihat sedikit takut.
“Désolée… je viens d’Indonésie, précisément de Bandung.”
(Maaf… aku berasal dari Indonesia, tepatnya dari Bandung.)
Bahasanya agak rancu, tapi cukup jelas bahwa wanita ini berusaha keras berbicara dengan Prancis yang baik.
Aku mengangkat alisku dan menatap gadis itu. Mungkin tatapanku sedikit tidak ramah.
“Ha ha... je ne vous ai rien demandé, madame !”
(Haha… aku tak bertanya padamu, Nona!)
Nada bicaraku sangat ketus.
Dari ekspresinya, dia sempat terlihat terkejut, tapi hanya sesaat.
Wanita itu kembali tersenyum.
Sepertinya dia bukan tipe yang mudah tersinggung.
“Peut-être… mais vous voulez le savoir, non ?”
(Mungkin… tapi Anda ingin tahu, bukan?)
Jawabnya sedikit tegas.
Gadis bermata cokelat itu menatap mataku dengan cara yang aneh.
Tatapan yang terlalu dalam dan terus menembus, membuatku sedikit tidak karuan.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah kerumunan orang yang lalu lalang di depan kami.
“Mais… je pense que ce n’est pas important, mademoiselle.”
(Tapi… menurutku itu tidak penting, Nona.)
Jawabku singkat, sambil tersenyum, mencoba memperbaiki keadaan
Walaupun sebenarnya, aku memang ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini. Tapi aku tetap berpura-pura biasa.
Namun entah kenapa, gadis Asia ini seperti memiliki telepati yang kuat… dan sangat ceriwis dari gadis yang lain, yang pernah kukenal.
Aku mulai berpikir dan merasa penasaran.
“Désolée.”
Wanita itu meniru gaya bicaraku dengan singkat. Kali ini tanpa menoleh, bahkan tidak memandangku seperti sebelumnya.
Tapi suaranya tetap tenang.
Lalu, dia melanjutkan:
“Avez-vous déjà été en Bali ?”
(Apakah Anda pernah ke Bali?)
Wanita ini benar-benar kepala batu.
Apakah dia sungguh tertarik kepadaku? Atau… jangan-jangan dia seorang jurnalis? Sedang mencari informasi dan ingin tahu siapa aku sebenarnya?
Aku bergumam dalam hati.
Dahiku mulai berkerut saat menoleh padanya dan ia tak memandangku sama sekali, bahkan ketika aku benar-benar memperhatikannya.
Tapi dari sudut wajahnya, aku bisa melihat matanya yang bulat, lebih indah dari milik Valerie.
“Vous voulez dire l'île de Bali ?
Je connais l'Indonésie seulement à travers Miss Indonésie.”
(Pulau Bali maksudmu? Aku hanya tahu Indonesia dari Miss Indonesia saja, nona.)
ujarku menimpali.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Ada rasa santai yang mulai tumbuh dalam dadaku.
Sepertinya dia orang yang menyenangkan juga.
Aku pun mulai terbawa suasana.
Cara dia terus mengajakku berbicara membuatku tak merasa sendiri lagi.
Dan anehnya, orang asing sepertiku bisa dia taklukkan dengan mudah.
“Yap, Bali, Peut-être que vous ne connaissez que Bali.
Mais Bali n’est qu’une des nombreuses îles de l’Indonésie.”
(Yap Bali, Mungkin Anda hanya tahu Bali. Padahal Bali hanyalah salah satu pulau di Indonesia.)
Gadis itu mencoba menjelaskan.
Bahasa Prancis yang ia gunakan agak terbata, tapi aku berusaha mengerti sedikit demi sedikit.
“Je ne connais pas votre pays, mademoiselle.”
(Saya tidak tahu negara Anda, nona.)
Aku tersenyum dan menyela perkataannya, walaupun itu memang kenyataan.
Aku tak tahu banyak tentang Indonesia.
Fokusku tak lagi pada sekeliling.
Mataku hanya tertuju pada gadis di sebelahku itu.
Bahkan posisi dudukku kini sedikit miring ke arahnya, agar bisa lebih leluasa menatap wajah ovalnya.
Begitu juga dirinya, seolah mengizinkan pandanganku menyentuhnya lebih dalam.
“Merci...”
Bisiknya sambil tersenyum manis.
Aku menarik tudung sweaterku dan menutup kepalaku.
Angin malam di tempat ini mulai menusuk dingin, tapi anehnya… hatiku justru terasa hangat
“Oui ? Pourquoi me dites-vous merci ? Ai-je fait quelque chose qui vous a plu, madame ?”
(Kenapa kau ucapkan terima kasih padaku? Apakah aku telah menyenangkanmu, nona?)
Aku mulai mengajaknya berbicara lebih terbuka.
Gadis yang mengenakan gaun biru tua itu langsung tersenyum lebar.
Senyuman yang memperlihatkan deretan gigi rapi, menyempurnakan wajahnya yang asli, anggun dan indah, menurutku.
Sepertinya dia sangat bahagia karena aku akhirnya membuka percakapan dengannya.
Jika kupikirkan dengan lebih jernih, sepertinya wanita ini bukan pertama kali datang ke paris.
Wanita di sampingku yang memiliki pandangan mata yang dalam, senyum yang cantik, dan jujur saja, dia sedikit menggoda.
Terlebih dengan gaun malamnya yang elegan, memperlihatkan pundaknya yang mulus.
Dari mana dia datang malam ini?
Bukankah malam ini cukup dingin bagi kulit seterang itu?
Ingin rasanya kuserahkan Sweter ini, tapi aku takut ada kesalah fahaman.
“Parce que vous êtes mon premier ami ici.
Je ne m’attendais pas à trouver un ami garçon dans ce pays, la France.
Au début, je ne pensais pas que vous seriez aimable… et encore moins capable de parler avec moi.”
(Karena Anda adalah teman pertamaku di sini. Aku tak menyangka bisa bertemu seorang teman pria di negara ini, Prancis. Awalnya, aku bahkan tak mengira Anda akan ramah... apalagi bisa berbincang denganku.)
Gadis itu menatapku begitu dekat, hingga aku bisa merasakan hangat embusan napasnya.
Kata-katanya sederhana, namun menyentuh. Ada ketulusan dari sorot matanya yang membuatku kembali terdiam, terpaku menatap wajahnya.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman kecil.
Dia benar.
Orang Prancis biasanya tak seperti aku. Namun mungkin, penampilanku terlalu mendekati gambaran mereka: Wajah Latin, hidung mancung, mata seperti lensa, tapi tubuhku lebih tinggi dari rata-rata orang paris.
Tapi dia tetap menganggapku orang Prancis, dan aku tak berniat mengoreksinya.
Bibirnya yang ranum terus saja berbicara dalam bahasa Prancis yang belum sepenuhnya fasih, tapi dia cukup menguasai artinya.
Justru itulah yang membuatnya tampak manis, bahkan sedikit menggemaskan.
Dan entah kenapa… aku mulai menyukainya.
---
Suara tawa dan obrolan lembut terdengar samar di antara desir angin yang bermain lembut di sela dedaunan taman.
Tiba-tiba, saat suara biola yang mengalun tak jauh dari situ menyentuh syaraf perasaannya yang paling dalam.
Terlihat dalam pandanganku, satu gerakan cepat dari arah semak-semak membuatnya refleks terkejut, bahkan hampir melompat dari duduknya.
Matanya membelalak.
"Mon dieu!" serunya lirih.
(YaTuhan!)
Namun, sebelum tubuhnya benar-benar terangkat, satu tanganku tangan sigap menangkap lengannya.
Refleksnya berhenti.
Jantungku seolah terhenti.
Nafas kami bertaut.
Kedua mata kami bertemu.
Sejenak, waktu seolah menguap dari dunia nyata.
“Pardon... vous allez bien?”
(Maaf... Andabaik-baiksaja?)
ucapku dengan lembut.
Gadis itu tampak seperti menelan ludahnya.
Dadaku berdegup liar, namun ia mencoba menjawab dengan suara serak,
“Oui... je suis désolée, j’étais surprise.”
(Ya… maaf, aku tadi terkejut.)
Namun belum sempat dia menambah sepatah kata pun, tiba-tiba aku ingin membungkuk pelan… mendekati wajah cantiknya dan tanpa aba-aba, menekan bibirku ke bibirnya.
Sebuah ciuman yang sempat kutahan berlangsung singkat, ringan, namun cukup mengguncang bumi di bawah kakiku.
Matanya membelalak.
Nafasnya tertahan.
Jiwanya diam.
Dan saat ia tersadar, tubuhnya refleks terangkat, berdiri tegak, namun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Aku hanya memandangnya dengan tatapan yang sulit ditebak, antara rasa bersalah dan ketertarikan yang mendalam.
Bersambung....