Angin malam Paris berdesir tajam, menyelinap melewati sela-sela balkon apartemen tua itu, menyentuh kulit seperti kenangan yang belum sembuh.
Langit menggantung kelabu, seolah menyimpan beban yang sama dengan hati mereka malam itu.
Sebastian melirik Kareesa.
Gadis itu berdiri membatu, memandang jauh ke arah kota yang bermandikan cahaya.
Wajahnya dingin, namun matanya merah, entah karena dingin atau karena sesuatu yang lebih dalam.
Tanpa berkata apa pun,
Sebastian melangkah pelan dan merangkul pundak Kareesa. Ia menariknya lembut, mengajak masuk, menjauh dari gigil angin malam yang menusuk hingga ke tulang.
“Masuklah, Kareesa…,” bisiknya lirih. “Udara malam terlalu kejam untuk tubuh sekecilmu.”
Kareesa masih bergeming.
Di ambang pintu balkon, Sebastian berhenti, menatap wajahnya yang terpantul samar oleh kaca jendela.
Di antara sofa beludru, dinding berpanel putih gading, dan lampu gantung kristal yang menggantung diam di langit-langit tinggi, semua tampak sempurna, kecuali hubungan dua insan yang mulai retak oleh kejujuran yang ditahan.
Sebastian terdiam seketika.
Ia berdiri tegak di samping sofa tempat Kareesa duduk, tampak ragu.
Sambil menggenggam sebuah gelas kristal kosong.
"Kamu kenapa diam terus?"
“Kamu mau minum?” tawarnya lembut, mencoba mencairkan ketegangan.
Namun Kareesa tetap diam, bibirnya tak bergerak sedikit pun. Matanya hanya mengamati, seolah menimbang apakah kata-kata itu pantas diberi jawaban.
Sebastian menarik napas panjang,
dan kali ini suaranya terdengar lebih tegas, namun tetap dibungkus kesabaran yang hampir habis
“Kamu mau diam terus sampai kapan, Kareesa?”
Suasana hening.
Hanya terdengar detak jam antik di dinding dan desir angin yang kini tertahan oleh kaca.
Di sudut ruangan, Mr. dan Ny. Phillips duduk bersama, menyaksikan diam-diam dari sofa panjang berlapis beludru hijau.
Tak ada intervensi, hanya sorot mata tajam ibu Sebastian yang menyiratkan satu hal: dia tahu lebih dari yang tampak.
Sebastian menunduk sejenak, lalu memalingkan wajahnya.
Bukan karena marah, tapi karena kecewa.
Sementara Kareesa... masih terpaku.
Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena hatinya belum siap untuk terbuka.
“Ya, Sebastian…,” bisik Kareesa pelan, nyaris hanya lewat bibir.
Suaranya halus, namun cukup membuat pria Blasteran inggris berparas dingin itu menghentikan kata-katanya.
Kareesa melirik sekilas ke arah Tuan Phillips, pria berambut perak rapi dan bermata tajam, sorot aristokrat yang tidak mudah diyakinkan begitu saja.
Ia menyunggingkan senyum, mencoba menutup kegugupan dengan pesona terbaiknya.
“Ya udah, aku ambilin kamu minum ya... Kamu pasti haus” ujar Sebastian akhirnya, nada suaranya lebih tenang, tapi jelas itu bukan jawaban yang sepenuhnya ingin ia berikan.
Tuan Phillips mengerutkan dahi.
“Memangnya tadi di luar kalian tidak beli minuman?” katanya pelan. “Setahu papa, di Paris banyak tempat yang bagus !”
Tatapannya yang tajam mengarah langsung pada Kareesa, membuat gadis itu perlahan menundukkan kepalanya.
Dingin tapi tak membentak, sikapnya seperti bangsawan Inggris yang lebih menekankan tekanan melalui bahasa tubuh dan pilihan kata.
“Benar kan, Kareesa?” tanyanya lagi.
Suaranya rendah, tenang, namun menyimpan ketegasan yang tak bisa diabaikan.
Kareesa meremas gaun di pangkuannya.
“Iya, Papa…,tapi tadi aku tidak beli apa-apa, hanya duduk saja di taman Champs-Élysées,” jawabnya dengan lirih, berusaha tetap sopan dan anggun meski hatinya terasa mencelos.
Tuan Phillips menatapnya beberapa saat. Wajahnya yang penuh wibawa tak menunjukkan kemarahan, hanya sorot kecewa dan tanya yang belum sepenuhnya terjawab.
Kareesa bisa merasakannya di udara, seakan beban halus itu menekan pundaknya.
Ia menoleh sekilas ke arah Sebastian, berharap kekasihnya itu tak memperkeruh suasana.
Namun ia tahu, sejak bergabung dalam lingkungan keluarga Sebastian yang sangat menjunjung kehormatan dan reputasi, setiap tindak-tanduknya menjadi cerminan.
Dan kini, Kareesa hanya bisa berharap... bahwa kebohongan kecil ini tidak berubah menjadi badai besar di dalam keluarga Phillips.
Kareesa menunduk. Dalam hatinya berdesir sebuah kegelisahan. “Apakah Tuan Phillips menangkap maksud Sebastian tadi? Apakah beliau berpikir buruk tentangku? Ya Tuhan…”
Namun kekhawatiran itu sedikit mereda saat suara Tuan Phillips terdengar tenang namun tegas, seperti seorang ayah yang tengah memberi nasihat kepada putri yang dikasihinya.
“Jika kau ingin berjalan-jalan, mintalah Sebastian untuk menemanimu, Kareesa. Kota ini… tidak selalu seaman tampaknya, terlebih bagi seorang wanita muda yang sendirian.”
Nada suaranya terdengar berwibawa namun tidak menghakimi.
“Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada siapa pun yang sudah kami anggap bagian dari keluarga kami. Apalagi padamu… terutama di mata Sebastian. Kau tahu betul dia sangat peduli.”
Ucapan itu membuat Kareesa tersentak pelan.
Ia tidak menyangka, bahwa di balik sikap kaku Tuan Phillips, ternyata tersembunyi perhatian dan perlindungan yang tulus.
Ada ketulusan yang menyentuh, walau di saat bersamaan, ia juga merasa bersalah dan lelah.
Ia menghela napas pelan.
'Apa ini jalan yang benar?'
'Kenapa hatiku justru terasa hampa?'
Sementara itu, Sebastian mencoba menenangkan suasana. Ia menatap Kareesa penuh pengharapan.
“Ayah benar... Dan ya, aku juga salah... aku belum mengajakmu berkeliling seperti yang seharusnya. Padahal kau pasti ingin mengenal kota ini lebih baik.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap mata Kareesa dengan sorot yang lembut.
“Aku mencintaimu, Kareesa. Aku minta maaf atas nada bicaraku yang tadi. Aku hanya terlalu khawatir kehilanganmu.”
Kalimat itu membuat suasana menjadi lebih lembut.
Kareesa diam.
Hatinya masih bertanya-tanya, mungkinkah ia bisa belajar mencintai Sebastian seutuhnya?
Ia tahu, pria itu mencintainya dengan sepenuh hati.
Tapi apakah itu cukup?
Nyonya Phillips yang sejak tadi memperhatikan, kini angkat bicara.
Wajahnya lembut, matanya teduh seperti embun pagi. Ia menghampiri Kareesa, duduk di sampingnya, dan mengelus rambut bergelombang Kareesa dengan lembut.
“Restuku sudah ada pada kalian berdua.”
“Tak mudah menemukan cinta sejati. Tapi jika kalian terus bertengkar karena hal-hal kecil, bagaimana bisa melihat makna besarnya?”
Ia tersenyum lembut, membelai pipi Kareesa.
“Kau gadis baik, Kareesa. Dan Sebastian… dia mungkin keras kepala, tapi dia tulus. Dan tak banyak pria seperti dia.”
Kareesa hanya bisa mengangguk kecil.
Hatinya masih dipenuhi tanda tanya, tapi setidaknya... malam itu ia merasa sedikit lebih dipahami.
Sebastian memang pria yang baik.
Mapan, berpendidikan tinggi,
dan luar biasa sopan.
Tak ada yang kurang dari dirinya.
Tingginya menjulang, tubuhnya proporsional, wajahnya rupawan khas aristokrat Inggris dengan rahang tegas dan mata tajam berwarna biru kelabu.
Di usianya yang ke-27, ia sudah menjabat posisi penting di perusahaan keluarga, menjadi pewaris yang paling menjanjikan dari generasi Phillips.
Namun…
hatiku belum bisa jatuh cinta padanya.
Aku menjadi kekasihnya bukan karena cinta itu tumbuh secara alami.
Aku menerimanya karena dia adalah sahabat lamaku, teman kecilku yang selalu ada sejak kedua orang tuaku meninggal.
Ia menjagaku seperti seorang kakak, bukan kekasih.
Tapi sekarang… dia ingin lebih.
Dia ingin aku menjadi istrinya.
Menjadi pendamping hidupnya.
Sedangkan aku… masih belum yakin.
Tanganku terasa hangat.
Sebastian menggenggam jemariku dengan lembut. Sentuhannya membuat lamunanku buyar.
Mata pria itu menatapku dalam-dalam, tak lagi menyimpan amarah seperti sebelumnya. Kini, hanya ada satu hal yang terlihat jelas di sorot matanya: ketakutan akan kehilangan.
Sebastian menatapku penuh harap, seperti ingin mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, ia takkan melepasku.
Aku terdiam.
Tatapan itu… berhasil menyentuh bagian terdalam hatiku.
Laki-laki ini telah mengejarku dengan sabar, tanpa lelah, dan seakan mengorbankan segalanya demi aku.
“Baiklah, kami akan beristirahat dulu,” suara berat dan tenang Tuan Phillips memecah keheningan.
Beliau bangkit dari kursinya, dengan gaya khas bangsawan tua yang anggun. Nyonya Phillips menyusul dari belakang dengan langkah tenang dan senyum lembut yang tertahan.
“Jangan tidur terlalu larut, ya. Dan jangan ada keributan lagi malam ini,” ucapnya dengan nada hangat, sebelum melangkah perlahan menyusul suaminya ke dalam lorong kamar.
Setelah pintu tertutup dan suara langkah mereka tak lagi terdengar, aku dan Sebastian hanya diam.
Jari-jemariku masih berada dalam genggamannya.
Dan meski hatiku belum sepenuhnya memilih…
'Aku tahu, malam ini aku tak bisa menyangkal bahwa pria ini… terlalu baik untuk sekadar diabaikan.'