Cherreads

Chapter 7 - CINTA TAPI HINA

Aku pun melanjutkan langkahku,

menembus dinginnya malam Paris,

hingga akhirnya lelah menyapaku,

dan aku memutuskan kembali ke hotel.

Aku terus melanjutkan langkahku yang lelah hingga kembali ke tempat peristirahatan, Hôtel de Crillon,

sebuah hotel legendaris yang berdiri megah di jantung Paris.

Letaknya tidak jauh dari Panthéon, tempat sejarah dan seni bertaut dalam tiap hembusan angin malam kota ini.

Di hotel inilah aku menginap,

dan malam ini… tidak ada lagi Valerie yang tiba-tiba menyusup masuk ke dalam kamarku, seperti beberapa jam yang lalu.

Kini, pintu kamarku telah kukunci rapat.

Tak ada yang boleh menggangguku.

Tak seorang pun.

Aku butuh ketenangan.

Butuh ruang untuk menyusun kembali serpihan pikiran yang beterbangan, padahal kedua mataku pun belum bisa tertutup.

Fikiranku justru mengembara lebih jauh dari tubuhku yang terbaring diam.

Gadis mungil yang kutemui di Champs-Élysées terus hadir di benakku.

Senyumnya....ya, senyum yang entah mengapa terasa begitu familiar, begitu menggelitik sisi terdalam hatiku.

Ciuman singkat itu…

terlalu manis untuk diabaikan.

Tapi sayangnya, aku belum sempat memperkenalkan siapa diriku padanya.

Dan aku tahu,

dia pun tak pernah tahu siapa aku.

Aku meraih dan melemparkan secarik kertas kecil yang sempat kugenggam sejak Valerie tadi muncul di kamarku.

Kertas yang kini terasa tak berarti.

Aku tahu, gadis tadi, gadis bernama Kareesa, bukan siapa-siapa aku.

Hanya pertemuan singkat,

dengan orang asing di tengah malam Paris.

Valerie sempat mengusik pikiranku,

seperti biasanya.

Dengan segala drama dan kebodohan yang dulu pernah kuanggap cinta.

Aku sadar sekarang, dia hanya mencintaiku karena kesuksesan yang kini kuraih.

Verez Montegno yang dulu, pria yang dengan naifnya mengejar Valerie, hanya untuk ditertawakan oleh keluarga angkuhnya, kini telah mati.

Aku berusaha menyalakan Music Relaksasi,

Meski begitu, aku belum juga mampu memejamkan mata.

Padahal, malam sudah menunjukan pukul 2, larut malam.

Tubuhku kini terbaring diam di atas tempat tidur dengan seprai hotel premium yang mewah, tetapi pikiranku melayang entah ke mana. Seolah kembali mengambang di antara kenyataan dan lamunan, berlabuh pada satu sosok senyum gadis mungil di Champs-Élysées tadi.

Ada kenangan kecil yang manis yang tertinggal. Sesuatu yang terlalu singkat untuk disebut pertemuan, tapi terlalu dalam untuk dilupakan.

Ciuman singkat itu, meski sederhana,

terasa begitu jujur dan menggelora.

Dia bukan milikku.

Hanya orang asing yang tak mengenalku. Dan aku...

aku harus belajar melupakannya.

Namun, setelah bayangannya mulai pergi.

Justru Valerie yang terus memaksakan hadir di pikiranku.

Sikapnya, kata-katanya,

semuanya terasa terlalu memualkan.

Aku kembali mengingatkan diriku kembali...

Ingat Verez...

'Dia datang karena dirimu yang sekarang. Bukan karena dirimu yang dulu.

Verez yang bukan siapa-siapa.

Verez yang dulu tidak terkenal.'

---

Dulu, Verez yang pernah mengejar cinta Valerie, hanya mendapat cemooh dan hinaan dari keluarganya.

Keluarga yang memusuhi darah dan nama keluargaku tanpa ampun.

Dan kini, saat nama yang mereka hina telah bersinar, dia datang membawa senyum palsu dan cinta yang basi.

Aku jadi teringat, saat satu hari aku menyatakan cintaku kepada Valerie....

“Verez… ini Pablo, kamu kenalkan... siapa dia…? Dia aktor terhebat di Eropa. Sedangkan Kamu? Kamu Tak akan pernah bisa menyamai levelnya! Jadi.... jauhilah aku. Aku bukan siapa-siapamu!! Ha ha ha”

Aku masih ingat jelas kalimat itu.

Seluruh kata-katanya sangat tajam, seperti sembilu yang menusuk ke harga diriku terdalam.

Valerie mencampakkanku di hadapan kekasihnya dengan tawa yang meremehkan.

Dan aku?

Aku hanya seorang pria bodoh yang menyusun tugas-tugas kecil demi mendapatkan perhatiannya.

“I’m stupid to fall in love!”

Cacian Valerie masih bergema,

tapi kini aku tak lagi rapuh mendengarnya.

Kini semuanya telah berbalik.

Aku tidak lagi merasakan cinta yang sama pada dirinya. Aku tahu,

Valerie tak pernah benar-benar mencintaiku.

Dan aku pun tak ingin menjadi salah satu dari daftar panjang kekasihnya.

Valerie adalah masa lalu.

Dan aku harus menanamkan itu dalam-dalam di benakku.

Verez Montegno yang sekarang bukan lagi pria lemah.

Kini, hampir seluruh Eropa mengenalku.

Aku Verez, seniman muda yang sukses, pemain biola klasik yang memiliki ciri khas, yang berhasil naik daun dan menyentuh hati para pecinta musik dari Roma, Paris hingga Amsterdam.

Aku tak butuh menjadi Pablo.

Aku telah menjadi diriku sendiri.

Mataku mengarah ke biola kecintaanku, tergeletak manis di meja samping ranjang hotel mewah ini.

Hanya alat itulah yang setia menemaniku dari dulu.

Memberikan getaran dalam setiap not yang kulantunkan.

Dan malam ini, di kamar eksklusif HôteldeCrillon, hotel yang pernah jadi persinggahan para bangsawan dan pemimpin dunia, aku menyadari satu hal penting:

aku berhasil mencapai mimpiku… tanpanya.

***

Tak lama dalam lamunan, aku membiarkan fikiranku hanyut, perlahan-lahan menyusuri jalan-jalan kenangan yang tak pernah benar-benar usai.

Cahaya temaram dari jendela SuiteHotel berbintang itu memantul lembut di dinding, menari bersama bayangan Eiffel yang samar dari kejauhan 5 km.

Suara Paris malam hari, deru mobil, tawa pecah di Café bawah, dan denting gelas anggur, semua menyatu, menjadi irama sendu yang tak bisa kuabaikan.

Di ranjang yang terlalu mewah untuk seorang diri,

Aku terbaring, tubuhku di sini, namun jiwaku membara.

Fikiranku kembali pada ciuman yang tak seharusnya terjadi.

Pada tatapan Sebastian, dan suara lembut gadis itu saat menyebutku 'Penjaga'.

Betapa dunia ini lucu, mempertemukan hati yang ragu di kota cinta

Dan di bawah langit paris yang murung itu...

Aku sudah terlelap, dalam pelukan diam yang terasa hangat dari selimut mana pun.

Bersama mimpi yang mungkin tak pernah bisa menjadi nyata

***

Di sisi lain kota yang tak pernah benar-benar tidur, Kareesa bersandar dalam pelukan Sebastian.

Pelukan itu erat, namun hampa.

Terasa hangat, namun tak menenangkan.

Sebastian, terus memeluk karena takut kehilangan untuk ke dua kali...

Paris malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya gemetar kecil di dalam dada Kareesa sendiri.

Ia tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan.

Bibirnya terkatup rapat, seolah kata-kata telah mati sejak kejadian di taman itu.

Matanya hanya menatap jalanan yang dilalui, dengan lampu-lampu jalan yang silih berganti menerangi wajahnya yang penuh tanda tanya.

Sebastian tahu, ada yang berubah.

Tapi ia memilih diam.

Tangannya tetap memeluk erat tubuh Kareesa, seolah takut gadis itu akan pergi dan menghilang jika ia melepaskannya.

Mobil mereka berhenti tepat di depan sebuah ApartemenMewah bertingkat tinggi, menghadap sungaiSeine.

'Brakk! '

Sebastian membuka pintu dan menuntun Kareesa masuk, tidak dengan paksaan, tapi dengan kecemasan seorang lelaki yang hampir kehilangan.

More Chapters