Cherreads

Chapter 12 - MASIH NOSTALGIA

Kareesa menunduk sejenak.

Kemudian perlahan,

ia mendongak,

menatap Sebastian, lelaki blasteran Inggris yang kini duduk hanya sejengkal darinya.

Tatapannya bening, jernih, seperti menyimpan badai kenangan yang selama ini ia tahan.

"Waktu kamu lanjut High school ke London... kita nggak pernah ketemu lagi. Dan setelah itu, Mama jatuh sakit. Waktu itu keluarga kalian, keluarga Phillips, sudah bantu banyak soal pengobatannya... but God had another plan."

Sebastian mengangguk pelan.

Tidak memotong.

Tidak tergesa.

Dia biarkan setiap kalimat Kareesa mengalir, sesekali diiringi dengan angin kampus yang membuat rambut curly Kareesa bergetar pelan di pipinya.

"Mama tahu penyakitnya... nggak bisa disembuhkan. Dan akhirnya beliau memilih untuk berhenti menjalani pengobatan."

Kareesa menatap langit, lalu menoleh kembali pada Sebastian.

Ada senyum kecil yang mencoba ia paksakan, tapi masih kalah oleh kesedihan di balik bola mata bulatnya yang mirip gadis-gadis stepa Eropa Tengah.

Sebastian terdiam.

Hatinya tercekat.

Ia masih ingat sosok ibu Kareesa yang ramah, baik, bahkan sering membuatkan dia roti lapis dan teh susu saat ia kecil dulu saat liburan ke rumah keluarga mereka di Jakarta.

Tapi waktu dan jarak telah membuat semua itu tinggal kenangan.

"Aku sedih, tapi aku juga bersyukur... Mama sempat berkata kalau dia merasa dihargai oleh keluarga kalian. Dan dia minta aku nggak menyalahkan siapa-siapa."

Sebastian mengangguk pelan, matanya kini memandang ke kejauhan.

Tapi sesekali ia curi pandang ke wajah Kareesa yang begitu tulus, dan diam-diam, begitu cantik.

Ketika Kareesa berbalik menatapnya,mata mereka bertemu.Ada yang bergetar di dada Sebastian.Ia langsung menunduk.

"Sorry..." gumamnya, entah pada tatapan, atau pada kenangan yang mulai mengusik hatinya sendiri.

Kareesa menahan senyum, senyum kecil yang tulus.

Ia tahu, Sebastian pun sedikit salah tingkah.

"Kamu masih suka malu ya... padahal dulu kamu galak banget. Suka bentak aku pas aku numpang main game di ruang tamu,"

goda Kareesa, berusaha mencairkan suasana.

Sebastian tertawa kecil.

"That was... a long time ago. And I was a terrible host, I guess."

(Itu... sudah lama sekali. Dan kurasa aku tuan rumah yang buruk.)

Keduanya tertawa pelan.

Sejenak,

mendung seolah memudar dari langit.

Dan di bawah bayang-bayang kenangan masa kecil, dua jiwa yang dulu terpisah waktu kini saling mendekat, perlahan tapi pasti.

Sebastian berusaha menutup rasa malunya dengan mengalihkan pandangan ke arah lapangan,

lalu dengan suara pelan ia bertanya,

“Jadi... sekarang kamu tinggal di mana, Kareesa? Kamu sama siapa di sini?”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya memancarkan rasa ingin tahu yang lebih dari sekadar basa-basi.

Di balik pertanyaannya, ada keinginan tersembunyi, harapannya untuk bisa lebih dekat, lebih sering bertemu, mungkin... bisa pulang dan pergi kampus bersama.

Bahkan ia sempat membayangkan, mungkin ini awal dari pertemuan yang tak akan ia lepaskan lagi.

"... "

Kareesa menoleh ke arahnya sambil memeluk erat buku-buku makalahnya.

Ada keraguan sejenak,

tapi senyum tipis di sudut bibirnya membuat suasana tak lagi sekaku tadi.

“Aku tinggal di rumah peninggalan mama, di daerah barat kampus... Aku tinggal bersama saudara mama,” jawab Kareesa pelan.

“Mama udah nggak ada... Jadi aku nggak boleh ngoyo,” tambahnya, dengan suara yang mulai bergetar.

Sebastian menunduk, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang muncul tanpa alasan jelas.

Ia merasa abai, padahal dulu keluarganya begitu dekat dengan Kareesa dan ibunya.

Ia terus berusaha mengingat kapan terakhir kali ia melihat mereka, tapi semua sudah terlalu lama.

“Maaf banget, Kareesa... aku bener-bener nggak tahu,” katanya tulus.

“Waktu aku balik ke London, semua berubah cepat ya…”

Kareesa hanya mengangguk kecil, mencoba menelan perasaan yang membuncah.

Tapi sorot matanya justru menunjukkan kekuatan.

“Aku ngerti. Kita semua punya hidup masing-masing. Tapi… mungkin ini cara Tuhan mempertemukan kita lagi.”

Mereka saling menatap dalam diam.

Tak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh.

Buku-buku makalah yang digenggam Kareesa, kini menjadi saksi diam bagaimana pertemuan yang tak terduga justru menghadirkan kembali potongan kenangan, dan mungkin... awal dari sesuatu yang baru.

Suasana duduk mereka di bangku taman kampus masih dihiasi rintik lembut yang belum sepenuhnya turun, saat suara langkah sepatu hak terdengar nyaring dari kejauhan.

“Sebby?? SebbyPhillips? OhmyGod!”

Kareesa spontan menoleh ke arah suara nyaring itu, sementara Sebastian baru saja mengangkat wajah dari arah tasnya.

Seorang perempuan berambut lurus berkilau, berpakaian modis dengan aroma parfum yang menyengat manis, melambai antusias sambil setengah berlari ke arah mereka.

Tanpa aba-aba, gadis itu langsung memeluk Sebastian dari belakang, membuat tubuh Kareesa menegang.

“Can’t believe it’s you! You're studying here? Why didn’t you tell me, huh?”

(Nggak nyangka kalau itu kamu! Kamu kuliah di sini? Kenapa nggak bilang-bilang sih, huh)

ucapnya sambil mengerling manja ke arah wajah Sebastian.

Sebastian agak kaget tapi tersenyum kecil, melepaskan pelukan dengan sopan.

“Sophie? Wow… sudah lama banget ya.”

Kareesa hanya bisa diam, matanya mengamati gadis itu dari ujung kepala sampai ujung sepatu, bukan karena iri, tapi karena tidak tahu di mana dirinya harus berdiri.

“Oh....sorry!” Sophie akhirnya menyadari keberadaan Kareesa. “You’re… his friend?”

“Teman kampus,” jawab Kareesa singkat, sambil tersenyum seadanya.

“Dia temanku juga,” sela Sebastian cepat, mencoba memperbaiki situasi. “Sophie, ini Kareesa. Kareesa, ini Sophie, teman Sekolah-ku waktu aku masih di Inggris.”

“Nice to meet you,” ucap Sophie cepat, sebelum kembali menatap Sebastian.

“Eh, nanti malam ada acara alumni di cafe dekat sini, kamu harus datang, okay?”

Sophie kemudian mencolek dagu Sebastian dengan ringan, lalu berlalu seolah Kareesa tak lagi ada di situ.

Kareesa menghela napas pelan,

memeluk kembali bukunya.

Sebastian melirik ke samping.

“Maaf, dia emang agak heboh. Kami memang kenal lama, tapi bukan apa-apa.”

“Aku nggak nanya juga, kok,” jawab Kareesa sambil pura-pura melihat ke arah lain.

Sebastian tersenyum miring.

“Tapi kamu kayaknya pengen tahu.”

Sebastian menatap Kareesa yang kini pura-pura fokus dengan buku di pangkuannya.

Sorot matanya penuh rasa ingin tahu, namun ia memilih untuk tidak terlalu menekan suasana.

“Jadi…,” ucap Sebastian sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah Kareesa.

“Kamu tadi cerita tentang makalahmu, ya? Isinya tentang apa tadi? How to stay calm when random British girls appear out of nowhere?”

(Bagaimana caranya agar tetap tenang ketika gadis-gadis Inggris muncul entah dari mana?)

Kareesa menoleh cepat dengan ekspresi terkejut, lalu tertawa kecil sambil meninju pelan bahunya.

“Gila, kamu nyebelin banget,” katanya sambil mengerucutkan bibir. “Itu judul makalah yang pasti langsung dapat nilai F.”

“Ah, minimal dapat perhatian dosen,” balas Sebastian dengan gaya dramatis. “Tapi, sejujurnya, aku lebih butuh perhatian dari kamu sekarang.”

Kareesa langsung melotot,

tapi tak bisa menahan senyum.

Sebastian mengambil kesempatan itu untuk berdiri, merentangkan tangan seolah sedang membuat pengumuman resmi.

“Untuk menghapus trauma akibat kemarin ditabrak dan dipeluk sekaligus hari ini, aku putuskan, kita makan es krim!”

Kareesa mengangkat alis.

“Serius? Kamu mau traktir aku?”

“Dengan syarat,” jawab Sebastian, menyodorkan tangannya, “kamu jangan marah sama Sophie. Lagipula, kamu lebih manis dari semua rasa es krim yang ada di kantin.”

Kareesa pura-pura muntah kecil lalu tertawa. “Itu gombalan murahan, Mr. Phillips.”

“Murahan, tapi efektif, kan?” sahut Sebastian dengan percaya diri.

Ia pun menggenggam tangan Kareesa dengan ringan, menariknya berdiri dari bangku taman.

Meski langkah mereka masih diiringi awan mendung, suasana hati Kareesa sudah mulai menghangat.

Dia sebenarnya tidak mengerti perasaan apa yang dia rasakan saat itu.

Dan entah kenapa, senyum Sebastian hari itu terasa seperti rasa stroberi favoritnya, manis, familiar, dan menyenangkan.

More Chapters