Beberapa Hari Kemudian
Sebastian sadar dari pertemuan pertama yang tidak sengaja itu ternyata menjadi awal dari pertemuan-pertemuan berikutnya.
Sebastian dan Kareesa semakin sering terlihat bersama, entah di taman kampus, kantin, ataupun sekadar duduk berdua di perpustakaan membahas makalah... yang ujung-ujungnya malah penuh canda tawa.
Dia tahu,
Kareesa diam-diam merasa nyaman.
Ada sesuatu dari sikap Sebastian yang membuatnya merasa dihargai karena sopan, ramah, dan selalu memperlakukannya seperti teman lama yang sangat berarti.
Tak ada kesan sok kaya, apalagi merendahkan latar belakangnya.
Sebastian pun tak bisa memungkiri, kehadiran Kareesa seperti membawa warna baru dalam rutinitas kampusnya.
Gadis itu sederhana, tapi hangat.
Tulus.
Tidak pernah bersikap dibuat-buat.
Suatu sore, ketika langit mendung dan angin sore berhembus lembut, Sebastian memberanikan diri mengajak Kareesa untuk ikut bersamanya.
“Aku tahu ini mendadak banget, tapi… kamu mau ikut aku sebentar ke rumah lama?” katanya hati-hati.
“Ibu dan Ayah ada di rumah. Mereka baru pulang dari paris. Aku cerita soal kamu ke mereka… dan mereka langsung bilang:
‘Kapan kamu ajak anak Bi Ijah ke sini?’”
Kareesa terdiam.
Wajahnya berubah antara terharu dan grogi.
“Ke rumah kamu yang di jakarta? Serius? Mereka masih ingat mama?”
“Of course. Mereka bahkan nyimpen beberapa foto waktu kecil. Kamu digendong Ibu sambil makan kue tart ulang tahunku,” jawab Sebastian sambil terkekeh.
Kareesa tertawa kecil,
hatinya tiba-tiba hangat.
Sepulang dari kampus Sebastian langsung membawa Kareesa pergi untuk ikut bersamanya, dengan kereta ke Rumah lama Keluarga Phillips.
Perjalanan mereka cukup panjang dan melelahkan.
***
Mereka tiba ke esokan harinya di rumah besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah namun tetap terasa bersahabat.
Begitu pintu dibuka, Tuan dan Nyonya Phillips langsung menyambut mereka berdua dengan pelukan hangat.
“Oh my dear… kamu Kareesa?” Nyonya Phillips memeluknya erat.
“Astaga… kamu sudah besar sekali. Masih ingat baju kecil pink yang sering kamu pakai waktu main ke taman belakang?”
Kareesa tertawa sambil mengangguk
meski matanya mulai berkaca-kaca.
“Dan kamu, Sebastian, sudah bisa bawa tamu tanpa disuruh ataupun diseret,” celetuk Tuan Phillips dengan tawa menggelegar, menepuk punggung anaknya.
“Bagus, bagus!”
Mereka pun duduk di ruang keluarga sambil menikmati teh dan kue buatan Nyonya Phillips.
Suasananya hangat, penuh nostalgia, seperti keluarga yang akhirnya berkumpul lagi setelah lama terpisah.
Kareesa merasa seperti pulang ke tempat yang pernah ia tinggalkan.
Dan Sebastian? Ia duduk tak jauh dari Kareesa, sesekali mencuri pandang ke arahnya, dan tersenyum
Suatu sore di Taman Belakang
Setelah menikmati kudapan dan obrolan hangat di ruang keluarga, Nyonya Phillips mengajak Kareesa untuk melihat taman belakang, tempat penuh kenangan saat Kareesa masih kecil.
Taman itu masih seperti dulu: padang rumput hijau yang terawat, bunga-bunga mawar yang mekar dengan wangi yang khas, dan ayunan kayu yang tergantung manis di pohon besar.
“Dulu kamu sering duduk di ayunan itu sambil manggil-manggil Sebastian yang lagi main bola,” kata Nyonya Phillips sambil terkekeh pelan.
“Dan dia gak pernah nyaut,” timpal Kareesa dengan senyum tipis.
“Karena aku takut kamu jatuhin bola aku ke kolam,” ujar Sebastian dari belakang, membuat mereka tertawa.
Mereka bertiga berdiri sejenak menatap taman itu dalam diam.
Angin sore bertiup perlahan, membawa nostalgia bersama harum rumput yang baru disiram.
Setelah beberapa saat, Nyonya Phillips pamit masuk untuk mengambil foto album lama.
Tinggallah Sebastian dan Kareesa berdiri berdampingan, memandangi ayunan yang berderit pelan tertiup angin.
“Kamu… kelihatan lebih dewasa sekarang,” kata Sebastian pelan.
Kareesa tidak langsung menanggapi.
Ia hanya menatap langit,
seolah mencari kata yang tepat.
“Orang yang hidup dengan kehilangan… biasanya memang dipaksa dewasa lebih cepat,” jawabnya akhirnya, lembut.
Sebastian terdiam.
Jawaban itu tidak menyedihkan, tapi penuh kedewasaan yang tidak dibuat-buat.
Ia menoleh ke Kareesa dan menatap profil wajahnya yang tenang.
“Aku nggak tahu kamu sekuat ini. Dulu kamu anak kecil yang selalu lari-lari di dapur sambil bawa biskuit,” ujarnya, mencoba sedikit mencairkan suasana.
“Dan kamu anak majikan yang suka main ke kebun dan bikin ibuku Bi Ijah ngomel karena sepatumu selalu kotor,” balas Kareesa, akhirnya tersenyum.
Suasana terus mencair.
Tapi di antara canda dan tawa kecil itu, Sebastian menyadari satu hal:
ada dinding tak terlihat yang dibangun Kareesa. Bukan karena ia tidak ramah.
Tapi karena ia menjaga dirinya.
Tidak terburu-buru memberi ruang pada siapa pun untuk masuk terlalu dalam ke hidupnya, dan Sebastian menghargai itu.
Di Dalam Rumah di Malam Hari
Setelah hari mulai gelap dan Kareesa hendak pamit pulang, Tuan Phillips memaksa Sebastian untuk mengantar.
“Gak sopan kalau kamu biarin dia pulang sendiri, anak muda.”
“Baik, Sir,” jawab Sebastian cepat, setengah malu, setengah senang.
Saat mereka berjalan ke mobil, Sebastian menatap Kareesa yang menggenggam tasnya dengan dua tangan di depan dada.
Ia tampak tenang seperti biasa, tapi sorot matanya tetap waspada.
Ia tidak menggantungkan harapan,
apalagi mencari perhatian.
“Aku senang kamu mau ikut tadi,” kata Sebastian membuka percakapan. “Orang tuaku kelihatan bahagia banget lihat kamu lagi.”
“Aku juga senang bisa ketemu mereka. Nyonya Phillips nggak berubah ya, tetap ramah dan penuh cerita,” balas Kareesa.
Setelah beberapa menit hening, Sebastian memberanikan diri berkata, “Kalau kamu nggak keberatan, mungkin… kita bisa ngobrol lebih sering? Mungkin makan siang bareng atau sekadar duduk di taman, lagi.”
Kareesa menoleh, tatapannya lembut, tapi penuh pertimbangan.
Ia tidak langsung mengangguk.
Tidak juga menolak. Hanya memberi senyum yang sangat dewasa.
“Mungkin. Tapi jangan berharap aku bisa selalu ada, ya. Aku punya banyak hal yang harus aku pikirkan,” katanya jujur.
Sebastian mengangguk pelan.
Ia tidak kecewa.
Bahkan, semakin menghargai gadis di sampingnya itu.
Tidak seperti gadis-gadis lain yang cepat bercerita, cepat melekat, dan cepat menghilang…Kareesa tetap berdiri kokoh dengan dirinya sendiri.
Dan malam itu, di dalam mobil, yang hanya diiringi suara musik pelan dan lampu kota yang mulai menyala satu-satu, Sebastian mulai tahu…
Ia tidak sedang jatuh cinta pada seseorang yang mudah.
Tapi mungkin, justru karena itu, perasaan itu terasa lebih nyata.
***
Satu bulan berlalu dengan sangat cepat.
Kampus Internasional Surabaya,
HariSenin
Sebastian melangkah memasuki area taman tengah kampus.
Jaket abu-abu khas Eropa melekat pas di tubuhnya, rambut pirangnya sedikit berantakan tertiup angin.
Di tangannya ada satu cup kopi hitam.
Dan di bahunya, tas selempang kulit yang mencerminkan gayanya:
klasik tapi tidak mencolok.
Beberapa mahasiswa melirik saat ia lewat. Wajar saja, SebastianPhillips bukan hanya blasteran Inggris yang tampan, tapi juga salah satu mahasiswa terbaik di jurusan manajemen internasional.
Bahasa Inggrisnya nyaris sempurna, dan ia dikenal sebagai pria yang cool, tidak banyak bicara, dan agak susah didekati.
Namun hari itu, ada yang berbeda.
Seorang gadis berkacamata yang duduk di taman membisiki temannya saat melihat Sebastian duduk di bangku dekat perpustakaan, membuka laptop, lalu… melirik ke arah pintu masuk gedung seni.
“Eh eh, dia nunggu siapa tuh? Masa nungguin si Kareesa sih?” bisiknya dengan nada setengah gosip.
“Yang anak pembantu itu? Eh bukan deng, anak siapa ya? Tapi kemarin aku lihat mereka jalan bareng, loh! Naik mobilnya dia!”
“Serius?!”
Di balik desas-desus itu, Sebastian tidak memperdulikan tatapan-tatapan orang.
Ia hanya melihat jam tangannya sekali, lalu tersenyum kecil saat siluet Kareesa muncul dari kejauhan, berjalan cepat sambil membawa map biru dan rambut curly-nya dibiarkan tergerai.
“Kamu telat dua menit,” kata Sebastian santai saat Kareesa mendekat.
“Macet. Dan kamu datang terlalu awal,” balas Kareesa sambil duduk, tak merasa perlu membela diri.
Mereka mulai membahas presentasi kelompok yang akan mereka bawakan minggu depan.
Tapi pergerakan mereka dan cara Kareesa menyodorkan laptop, lalu Sebastian mencondongkan badan tanpa melewati batas pribadi, semuanya terasa intim tapi sopan.
Tidak ada sentuhan.
Tidak ada flirting.
Tapi ada kehangatan,
yang diam-diam tumbuh.
Di kejauhan, dua mahasiswa cowok memperhatikan dari belakang pohon palem.
“Gokil, yang bisa deketin Sebastian akhirnya bukan cewek influencer, tapi si Kareesa? Yang kalem itu?”
“Iya, bro. Cewek itu emang beda. Gak genit, gak norak. Gue jadi penasaran sekarang.”