JEBREEETTT!! BRUUGG!! BRAKK!!
Suara benturan memecah keheningan pagi di koridor kampus. Seorang gadis muda berambut curly terpental jatuh ke lantai, tumpukan makalah dan buku-buku tebal berserakan ke mana-mana.
“Aduuhh!” keluhnya panik, buru-buru meraih kertas-kertas yang tercecer.
Wajahnya terlihat cemas,
waktu sudah mepet, dan dia tidak sempat memperhatikan jalan.
Dari arah berlawanan, seorang pria bertubuh tegap dan berwajah blasteran Inggris, kulit terang, hidung mancung, rahang tegas, dan mata biru tajam, juga ikut jongkok, membantu memunguti kertas-kertas yang jatuh.
“Wow... kamu bawa perpustakaan, ya?” celetuknya santai.
Kareesa, yang masih dalam mode panik, hanya bisa tertawa kecil.
“Iya, bisa jadi... aduh, maaf banget! Aku nggak lihat jalan, aku buru-buru!”
“It’s okay,” jawab si pria dengan aksen British yang halus. “Yang penting kamu nggak apa-apa.”
Kareesa terdiam beberapa detik.
Matanya menatap pemuda itu lekat-lekat.
Ada sesuatu yang berbeda, bukan hanya wajah blasterannya yang memukau, tapi juga sorot matanya yang tenang dan... familiar?
“Kayaknya...” gumam Kareesa sambil mengernyitkan dahi. “Aku pernah lihat kamu, deh... tapi di mana ya?”
Si cowok tersenyum tipis, sedikit geli.
“Maybeinyourdream?”
(Mungkin, di mimpimu?)
Kareesa mendesah, lalu menatapnya tajam. “Sok pede, ya?”
“Sebastian,” ucapnya sambil menyodorkan tangan.
Kareesa menyambutnya. “Kareesa.”
Sejenak, ada keheningan kecil.
Tatapan mereka bertaut.
Aneh.
Tapi juga hangat.
Sampaiakhirnya...
“Kareesa! Udah mau mulai kelas, buruan!!” teriak seorang teman dari ujung koridor.
“Oh no!” Kareesa mendadak panik. Ia berdiri dan buru-buru merapikan rambutnya. “Thanks ya, Sebastian! Maaf banget soal tadi!”
Tanpa menunggu jawaban, Kareesa pun lari kecil meninggalkan Sebastian yang masih berdiri di tempat, menatap punggungnya sambil tersenyum tipis.
Dan sejak saat itu, Sebastian tak pernah lupa senyum canggung Kareesa.
Bahkan bertahun-tahun kemudian... di Paris.
Sebastian tersenyum sendiri di kamar Apartemennya, saat dia mengingat masa pertama dia jatuh cinta dengan Kareesa.
Fikirannya kembali ke masa lalu....
***
Beberapa hari kemudian setelah insiden tabrakan itu. Mereka bertemu lagi di perpustakaan.
"... "
“Hmm...”
Pria itu berdehem pelan, suaranya dalam tapi terdengar sopan dan lembut.
Tatapannya masih tertuju penuh pada wajah cantik gadis berambut curly sepinggang di hadapannya.
“Yapp!! Aku ingat! Ya, aku ingat siapa kamu!”
Gadis itu berseru tiba-tiba, ekspresinya berubah sumringah.
Matanya berbinar cerah, seolah baru menemukan potongan puzzle yang hilang.
Sementara itu, buku-buku tebal yang semula dia genggam kini hampir rampung dia baca.
Kareesa pun bangkit.
“Ingat apa, ya?”
Sebastian menyipitkan mata, menyeringai bingung.
“Kamu kenal saya? Hehe, kok saya nggak merasa pernah kenal kamu, ya?”
Gadis itu terkekeh kecil, sambil memeluk tumpukan bukunya.
“Hehe, kamu pasti lupa. Tapi aku ingat kamu dan keluargamu…”
Ia mengangguk-angguk mantap,
lalu menatap wajah pria itu lebih dalam.
“Kamu anaknya Mr. Phillips, kan? Mr. Arthur Phillips?”
Pria itu, Sebastian, seketika terkejut, alisnya terangkat sedikit.
“You… know my father?” tanyanya setengah tertawa tak percaya.
Telunjuk Kareesa teracung ke arahnya dengan yakin.
“Iya kan?? Sebastian Phillips, anak keturunan bangsawan Inggris yang rumahnya dulu sering dipenuhi tamu diplomat. Aku ingat kamu!”
Sebastian akhirnya ikut berdiri penuh, memperhatikan Kareesa yang berdiri di depannya dengan percaya diri.
“Wow. That’s… unexpected. Tapi kamu siapa ya?”
Matanya masih menatap penuh rasa ingin tahu, sembari mencoba menggali ingatan masa kecilnya yang samar-samar.
Mereka tampak berjalan bersama menuju taman yang ada di kampus itu.
Kareesa tersenyum lebar,
“Ini aku. Aku anak Bu Ijah, yang dulu sempat kerja di rumah keluarga kamu waktu kamu liburan ke Indonesia. Kamu masih kecil, dan sering banget pulang-pergi dari London ke Jakarta, ingat nggak?”
Sebastian tertawa kecil. “Oh my God... that’s wild. Aku benar-benar nggak nyangka kita ketemu lagi di sini.”
"Ya ya ya... this is you??"
Sebastian memandangi Kareesa dengan ekspresi tak percaya.
Ia memicingkan mata, seolah mencoba mengingat gadis kecil dari masa lalu yang kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa berwajah manis dan berambut curly sepinggang.
"Yup, it’sme! Kareesa... Kamu itu Sebastian yang kalau jatuh, terus nangisnya kenceng banget! Hahaha... Dulu aku sering main di halaman belakang rumahmu," jawab Kareesa sambil tertawa kecil, memperlihatkan senyum naturalnya yang selalu menghangatkan suasana.
Sebastian tertawa pelan dan mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa kaku.
"Yes, you're right... Wow, you’ve changed so much. I barely recognized you,"
(Ya, kau benar... Wah, kau sudah banyak berubah. Aku hampir tidak mengenalimu,)
katanya dengan aksen British yang halus.
"Of course lah, last time we met, I was still a little kid. And you... you were that annoying teenage boy who never smiled to anyone but his dog,"
(Tentu saja, terakhir kali kita bertemu, aku masih anak kecil. Dan kamu... kamu adalah anak remaja menyebalkan yang tidak pernah tersenyum kepada siapa pun kecuali anjingnya,)
Kareesa meledek, setengah bercanda.
Sebastian tertawa lepas.
"Ouch, fair enough. I was a moody teenager back then. But look at us now..."
(Aduh, cukup adil. Dulu saya remaja yang pemarah. Tapi lihatlah kita sekarang...)
Mata mereka bertemu. Ada keheningan kecil yang hangat di antara mereka.
Kareesa tersadar, dia sedang berdiri bersebelahan dengan sosok dari masa lalunya, yang dulu hanya bisa dia kagumi dari kejauhan.
"Anyway, kita duduk dulu yuk... We can catch up a bit, kalau kamu nggak terburu-buru," tawar Sebastian sambil menunjuk bangku kayu di dekat taman kecil kampus.
"Boleh... aku juga udah telat kelas, jadi sekalian aja kabur sekalian," jawab Kareesa santai, menyembunyikan degup jantungnya yang tiba-tiba tak beraturan.
Mereka berjalan beriringan.
Langkah Sebastian panjang dan tenang, berbanding terbalik dengan langkah Kareesa yang ringan dan agak terburu.
Suasana siang itu terasa berbeda.
Lalu lintas mahasiswa, suara burung, angin yang menyibakkan rambut Kareesa, semuanya terasa seperti babak baru dalam hidupnya.
"Jadi kamu udah lama di Surabaya?" tanya Sebastian sambil duduk, memandang Kareesa yang juga mengambil tempat di sampingnya.
"Nggak juga... baru beberapa bulan ini. Setelah Mama meninggal, aku memutuskan kuliah di sini. Ada saudara juga di sini... Hmm.... Mama sempat sakit lama, kamu mungkin nggak tahu," jawab Kareesa lirih, senyum tipisnya menyembunyikan luka lama.
Sebastian menatapnya, penuh perhatian.
"I'm sorry to hear that, Kareesa. I wish I had known..."
(Saya turut prihatin mendengarnya, Kareesa. Andai saja saya tahu...)
Kareesa mengangguk pelan.
"It's okay. Life happens. Tapi aku masih nggak nyangka ya... ketemu kamu lagi. Di sini, seperti ini."
Sebastian tersenyum.
"Well... the universe does work in strange ways, doesn’t it?"
("Yah... alam semesta memang bekerja dengan cara yang aneh, bukan?)
Keduanya terdiam sesaat, memandang taman di depan mereka.
Di antara hiruk pikuk kampus, mereka seperti memiliki dunia kecil sendiri. Dunia yang dulu tertinggal, dan kini seolah kembali mengusik.
Dalam beberapa saat, wanita yang kini mengikat rambut curly-nya menjadi kunciran kuda itu pun merapatkan bibir merahnya.
Sorot matanya mulai meredup, seiring langit di atas kampus yang perlahan mendung, seakan ikut merasakan berat hati yang kini menyelimuti langkah mereka berdua.
"Kamu diam? Why? Are you okay?"
tanya Sebastian, menoleh dengan gelisah.
Pandangannya cemas melihat Kareesa yang tiba-tiba kehilangan senyum manisnya.
"Aku... jadi ingat Mama," jawab Kareesa lirih, pelan, nyaris seperti gumaman yang diterpa angin sore.
Begitu tiba di bangku taman yang menghadap ke lapangan rumput kampus, mereka pun duduk bersamaan.
Sebastian tak melepaskan pandangannya dari wajah Kareesa yang kini berubah murung, jauh berbeda dari senyum sumringah beberapa menit lalu,
saat mereka pertama kali bertemu kembali.
" Sabar ya.. Sekarang ada aku... "
Kata Sebastian dengan lembut, suaranya hampir berbisik, namun sarat dengan empati.