Cherreads

Chapter 14 - NOSTALGIA TERAKHIR

Di Lorong Fakultas

Setelah diskusi selesai, Sebastian berjalan beriringan dengan Kareesa ke kelas berikutnya. Ia membawa dua buku besar, salah satunya milik Kareesa.

“Eh, kamu gak harus bawain, tahu,” protes Kareesa.

“Tangan kamu udah sibuk nenteng map. Aku kan punya dua tangan,” jawab Sebastian santai.

Beberapa mahasiswi lain yang melintas nyaris menjatuhkan handphone mereka.

Salah satu dari mereka, yang pernah berusaha mengajak Sebastian makan siang dan ditolak halus, langsung memasang wajah ‘noway’.

Sebastian tidak memperhatikan mereka.

Tapi dia juga bukan tipe yang pura-pura gak sadar. Ia tahu, sejak dia terlihat bersama Kareesa beberapa kali, mulai banyak ‘mata’ yang menyorot.

Tapi baginya, Kareesa bukan bagian dari permainan sosial itu.

Justru karena itulah,

ia nyaman berada di dekatnya.

Sesampainya di pintu kelas, Sebastian menyerahkan buku Kareesa dengan satu senyuman tipis.

“Thanks,” ucap Kareesa pendek.

“Anytime,” jawab Sebastian.

Tapi sebelum mereka masuk, suara salah satu teman sekelas mereka, Renata, gadis tajir dari Jakarta, tiba-tiba menyela dengan nada bercanda, tapi penuh sindiran.

“Wah, couple of the year nih? Kapan kita undangan resepsi, Seb?”

Sebastian hanya menoleh sekilas. Tatapannya tenang.

Lalu ia menatap Kareesa, memberi isyarat seolah berkata: ‘maujawabgak?’

Kareesa hanya tersenyum kecil, lalu berkata,

“Wah, yang resepsi siapa duluan, ya? Mungkin kamu, Nat. Kami lagi bahas makalah, bukan cincin.”

Seketika suasana mendadak hening. Beberapa mahasiswa menahan tawa.

Dan Sebastian?

Ia tersenyum lebih lebar dari biasanya.

Bukan karena Kareesa membelanya.

Tapi karena perempuan di sampingnya,

tahu kapan harus bersikap lembut… dan kapan harus bersuara.

***

Seminggu Setelahnya di Kantin Kampus

Sebastian duduk di pojok kantin, di dekat jendela kaca besar yang menghadap taman.

Di depannya, segelas jus jeruk dan semangkuk salad belum disentuh.

Tatapan matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.

Biasanya, dia tenang dan fokus.

Tapi hari ini tidak.

“Kenapa kamu jadi aneh sih, Seb?” gumamnya sendiri.

Sudah tiga malam ia tidak bisa tidur nyenyak. Tiap kali pejamkan mata, yang muncul hanya senyuman Kareesa yang sederhana, tulus, dan entah kenapa membuat dadanya sesak.

Bukan karena rindu, bukan pula karena kagum. Tapi seperti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan… dan itu mengganggu fokusnya.

Satu jam kemudian, Kareesa muncul sambil membawa nampan makan siang.

“Sorry aku telat, antrean di koperasi panjang banget,” ujarnya sambil duduk.

Sebastian menatapnya, matanya dalam.

Hari ini Kareesa mengenakan blus putih dan rok panjang coklat muda.

Rambut curly-nya diikat setengah, dan ada aroma lembut bunga melati dari tubuhnya.

Dia menarik napas.

“Rees…”

Kareesa mengangkat alis.

“Ya?”

Sebastian membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tapi akhirnya, seolah tak bisa ditahan lebih lama, ia berdiri dari kursinya.

“Reesa, aku gak tahu sejak kapan… tapi aku ngerasa ini gak bisa aku simpan sendiri.”

Kareesa menatapnya heran.

Suara Sebastian cukup lantang, dan karena kantin tak terlalu ramai siang itu, beberapa pasang mata mulai beralih memperhatikan mereka.

Sebastian melanjutkan, dengan suara jelas.

“Aku suka kamu.”

Hening.

Hanya suara kipas kantin dan sendok yang jatuh dari salah satu mahasiswa yang kaget.

“Aku gak tahu kamu punya perasaan yang sama atau enggak. Tapi aku gak tahan kalau harus pura-pura biasa saja setiap hari. Kamu bikin aku nyaman, kamu beda dari yang lain. Dan aku serius.”

Kareesa membeku.

Pipi memanas, bukan karena tersipu,

tapi karena semua orang mulai melihat ke arah mereka.

Beberapa mahasiswa sudah mulai bisik-bisik. Salah satu bahkan mulai merekam pakai ponsel.

“Kamu gak harus jawab sekarang. Tapi aku akan tetap suka kamu… bahkan kalau kamu nolak aku.”

Detik itu, seluruh kantin sunyi.

Semua menunggu reaksi Kareesa.

Gadis itu perlahan berdiri, menatap Sebastian yang berdiri tegap di hadapannya.

Dalam hatinya, ia bingung.

Ini terlalu cepat.

Ia belum tahu apa yang ia rasakan.

Tapi ia juga tahu,

Sebastian bukan main-main.

Dan... semua mata sedang menatapnya.

Dengan suara lirih namun cukup terdengar, Kareesa berkata:

“Sebastian… aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi… baiklah. Aku terima.”

Sebastian mengedip, seperti tak percaya.

“Serius?”

Kareesa mengangguk kecil, lalu tersenyum sopan. Senyuman yang menyimpan lebih banyak rasa sungkan daripada cinta.

Kantin langsung riuh.

Ada yang tepuk tangan.

Ada yang sorak.

Teman-teman dekat Sebastian langsung mendekat, sebagian bahkan sudah membuat lelucon “Akhirnyasibulejatuhjuga!”

Tapi di dalam hati Kareesa, ada guncangan kecil. Ia tak menyesal menerima.

Tapi ia tahu, ini bukan akhir,

ini baru awal dari perasaan yang entah akan mengarah ke mana

***

Beberapa Hari Setelah Resmi Jadian, di Halaman Belakang Fakultas...

Kareesa baru saja keluar dari ruang laboratorium fakultas saat seseorang menarik pergelangan tangannya dengan kasar.

“Eh! Apa-apaan sih kamu?!” serunya kaget.

Seorang mahasiswi tinggi dengan eyeliner tebal dan dandanan berlebihan berdiri di depannya.

Namanya Tania, anak arsitektur,

dikenal dekat dengan circle Sebastian.

“Kamu pikir kamu siapa sih?” sergah Tania tanpa basa-basi. “Anak pembantu? Dan sekarang kamu sok-sokan jalan bareng Sebastian? Kamu pikir dia beneran suka kamu?!”

Kareesa terdiam.

Tak menyangka akan dilabrak secepat ini,

dan se-frontal ini.

“Saya gak ngerti maksud kamu. Tolong lepas tangan saya,” ujar Kareesa dingin, berusaha tetap tenang.

Tania justru mendorongnya hingga Kareesa kehilangan keseimbangan dan terjatuh di tanah berumput.

Buku-buku dari pelukannya berserakan.

“Jangan sok suci, Kareesa. Cewek kayak kamu cuma numpang tenar karena dekatin cowok blasteran!”

“Tania!!!”

Suara itu membuat semua orang menoleh. Termasuk Kareesa yang masih di tanah.

Sebastian berdiri di belakang mereka. Matanya tajam. Rahangnya mengeras. Bahunya tegap. Ia menatap Tania tanpa berkedip.

“Jangan pernah sekali pun kamu menyentuh Kareesa lagi.”

Tania tampak gugup. “Seb, aku cuma......”

“Cukup.”

Suara Sebastian berubah rendah dan dingin, tapi penuh tekanan. “Kalau kamu pikir dengan dorong-dorong Kareesa kamu bisa dapat perhatianku, kamu salah besar.”

Ia segera berlutut, memungut buku-buku Kareesa, lalu mengangkat tubuh Kareesa ke pelukannya.

Kareesa terkejut.

“Sebastian… aku bisa jalan sendiri...”

“Tadi kamu jatuh. Aku gak mau ambil risiko,” ucapnya pendek.

Sebastian tetap menggendong Kareesa dengan gaya Bridal style.

Di depan semua orang.

Tatapan Sebastian berpindah ke Tania yang kini tertunduk malu.

“Next time kamu ganggu dia lagi… kamu berurusan sama aku langsung.”

Tanpa memberi kesempatan bicara, Sebastian membalikkan badan dan melangkah pergi sambil menggendong Kareesa yang masih memeluk bukunya dengan bingung.

Di jalan keluar halaman, Kareesa berkata lirih, “Kamu… gak perlu sampai segitunya.”

Sebastian menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.

“Terlambat. Aku udah bucin.”

More Chapters