Cahaya pagi menyusup pelan lewat jendela besar kamar bergaya klasik Prancis itu.
Tirai tipis melambai halus diterpa angin musim semi dari taman balkon apartemen mewah keluarga Philips.
Kareesa terbangun pelan.
Nafasnya masih berat. Tatapannya kosong menembus langit-langit kamar.
Ia baru saja terbangun dari mimpi panjang. Mimpi tentang masa lalu.
Tentang tawa mereka di kantin kampus. Tentang gendongan penuh proteksi dari Sebastian di halaman belakang fakultas.
Tentang betapa keras kepala dan perhatian cowok itu. Dan... tentang sorot matanya yang dalam, saat mengucap,
“Terlambat. Akuudahbucin.”
Kareesa memejamkan matanya kembali sejenak.
Kenangan itu... menyapanya kembali tanpa diminta. Kenangan yang selama ini berusaha ia bungkam rapi di sudut pikirannya, kini menyeruak lagi, begitu nyata.
"Aku... bermimpi tentang kamu lagi, Seb." Gumamnya, lalu Ia bangkit dari ranjang, berjalan perlahan menuju balkon,
menyibak tirai.
Udara Paris pagi itu menyentuh pipinya, menyadarkannya lebih dalam:
iabenar-benarkembali.
Setelah sekian lama.
Setelah banyak luka dan cerita yang menguap di antara waktu.
Ia kembali, bukan sebagai gadis polos di kampus dulu. Tapi sebagai Kareesa yang kini hidup di antara keluarga bangsawan Eropa, dengan status yang tak lagi sederhana.
Tok tok tok.
Suara pintu mengagetkannya pelan.
“Mademoiselle Kareesa?”
Suara pelayan wanita dari luar terdengar lembut.
Kareesa menarik nafas,
dan membalikkan tubuh.
“Oui, masuk saja.”
Pintu terbuka. Seorang wanita berseragam elegan masuk dengan sopan.
“Tuan dan Nyonya Philips telah menunggu Anda di ruang makan. Mereka ingin Anda bergabung untuk sarapan pagi.”
Kareesa mengangguk pelan.
“Baik. Aku akan segera ke sana.”
Pelayan itu membungkuk sedikit lalu keluar, menutup pintu dengan tenang.
Kareesa berdiri sejenak, menatap pantulan dirinya di cermin rias besar.
Wajah itu... masih sama. Tapi sorot matanya tak lagi sepolos dulu.
Ia tersenyum pahit.
“Sebastian... kamu tahu gak sih, kamu masih sering mampir dalam mimpiku? Meski aku belum mencintaimu.”
Ia mengambil mantel tipis, merapikan sedikit rambut curly-nya, lalu melangkah keluar dari kamar.
Suasana hangat apartemen keluarga Philips menyambut langkahnya.
Aroma kopi dan roti panggang menyelinap dari ruang makan.
Di sana, Tuan Philips sedang membaca koran, Nyonya Philips menyusun piring buah. Semuanya terlihat hangat...
Namun belum ada tanda-tanda Sebastian.
Hanya jejak bayangannya di benak Kareesa yang belum juga memudar.
Di meja makan, Nyonya Philips menoleh dengan senyum lebar saat melihat Kareesa masuk.
“Ah, chérie! Akhirnya kamu bangun juga. Duduklah, kami baru saja mulai,” ujarnya hangat sambil menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
Tuan Philips menurunkan korannya, tersenyum ramah.
“Pagi, Kareesa. Tidurmu nyenyak, kan?”
Kareesa mengangguk dan membalas senyuman mereka, meski masih terasa canggung.
Ia pun duduk dengan pelan.
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga kayu.
Sosok tinggi dengan rambut cokelat terang kepirangan dan mata abu-abu itu muncul, mengenakan sweater kasual dan celana panjang berbahan wol.
Masih seperti dulu, penampilannya selalu rapi, klasik, dan... menyebalkan karena terlalu tampan di pagi hari.
“Sorry, I’m late!” seru Sebastian, mengacak rambutnya sambil menghampiri meja makan.
Mata mereka bertemu.
Dan waktu seperti berhenti sedetik.
Kareesa tertegun.
Bahkan setelah mimpi panjang yang membawanya kembali pada masa-masa awal pertemuan mereka, nyatanya lelaki ini masih memberi getaran yang sama.
Sebastian menyeringai kecil, semacam senyum sok cool yang ia pakai setiap kali menyembunyikan gugup.
“Morning, Kareesa,” katanya santai.
“Sleep well? Or did someone invade your dreams again?”
(Tidur nyenyak? Atau ada yang mengganggu mimpimu lagi?)
Kareesa langsung menunduk dan pura-pura memotong croissant-nya.
“Sarapanmu jangan gosong duluan, Seb,” sahutnya datar, meskipun pipinya sempat memanas sesaat.
Nyonya Philips tertawa pelan.
“You two never change...”
(Kalian berdua tidak pernah berubah..)
Tuan Philips hanya menggeleng kecil sambil menyeruput kopinya, dan berkata dalam nada ringan,
“Aku sudah mencium aroma perang dingin di pagi hari.”
Semuanya sempat terdiam.
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis jendela tinggi, menebar semburat emas ke ruang makan yang luas dan hangat.
Di atas meja panjang dari kayu ek antik, aneka sajian sarapan bergaya kontinental tersusun rapi, croissant hangat, keju brie, selai aprikot buatan tangan, dan jus jeruk segar dalam gelas kristal.
Kareesa duduk di samping Sebastian, berhadapan dengan orangtua tunangannya.
LadyElisabethPhillips, elegan dengan gaun biru lembut dan rambut peraknya disanggul rapi, sesekali melempar senyum ramah.
Sementara Tuan Lionel Phillips, mantan duta besar yang kini lebih banyak mengurus yayasan keluarga, menyimak obrolan ringan dengan anggukan tenang.
Percakapan pagi itu berjalan hangat, meski di hati Kareesa ada hal lain yang terus berdetak: wajah itu, ciuman itu, dan... tatapan di taman yang tak pernah ia lupakan.
Namun ia tersenyum. Tetap menjaga sikap.
"Paris selalu punya cara membungkus hari dengan pesona," ujar Lady Phillips sambil menyuapkan potongan buah ke piringnya.
"Sebastian, nanti ajak Kareesa jalan-jalan ya. Mumpung udara cerah.”
Sebastian mengangguk. "Tentu, Mama. Kami akan keluar sebentar siang ini..”
“Let’s get out for a while,” ucap Sebastian,
sambil menatap Kareesa yang masih memegang gelas teh hangatnya. “Aku tahu kamu butuh udara segar.”
Kareesa mengangkat wajahnya.
Mata mereka bertemu.
Tatapan Sebastian teduh dan lembut, tak ada tekanan, hanya ajakan ringan dari seseorang yang peduli.
"... "
Setelah sarapan usai, Kareesa berpamitan untuk kembali ke kamarnya.
Gaun tidurnya masih rapi, hanya dibalut jubah satin lembut berwarna gading. Ia melangkah melewati lorong panjang yang sepi, derap sepatunya nyaris tak terdengar di lantai marmer.
Namun sebelum tangannya menyentuh kenop pintu kamarnya, sepasang lengan melingkar perlahan dari belakangnya.
Pelukannya erat, hangat... dan tiba-tiba.
Sebastian...
Tubuh Kareesa sempat tersentak, lalu tenang dalam pelukannya.
Dada Sebastian menempel di punggungnya, dan dagunya perlahan bersandar di bahu Kareesa.
"Aku tahu matamu... tak sepenuhnya padaku hari ini," bisik Sebastian pelan.
Kareesaterdiam.
"Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku harap... apapun itu, kamu tetap di sini. Bersamaku."
Napas Kareesa bergetar.
Ia menutup mata.
Ada luka kecil yang tiba-tiba terbuka, bukan karena Sebastian, tapi karena hatinya sendiri. Yang perlahan, sedang menolak arah yang telah lama ditentukan.
"Aku di sini," jawab Kareesa nyaris tak terdengar.
Sebastian memejamkan mata di balik punggungnya. “Aku takut kehilanganmu dimulai bahkan sebelum kamu pergi…”
Tangannya menekan pinggang Kareesa lebih erat. Tapi tidak dengan nafsu.
Hanya... ketakutan.
Pelan-pelan, Kareesa membalikkan tubuhnya, menatap Sebastian.
Lelaki itu... baik. Tulus.
Terlalu sempurna untuk dilukai.
Lalu kenapa jantungnya tetap berdetak untuk orang lain?
"Yawdah... kita siap-siap dulu ya..."
Kareesa berkata dengan senyum tenang, menatap Sebastian yang masih memeluknya.
Suaranya lembut, penuh kehangatan, namun di baliknya, ada kebohongan yang disimpan rapi tentang cinta.
Sebastian mengangguk pelan.
Tatapannya dalam, seolah masih mencari jawaban dalam sorot mata Kareesa.
“Baiklah...” katanya akhirnya, lalu melepaskan pelukannya perlahan.
Seperti seseorang yang melepaskan genggaman bukan karena ingin,
tapi karena harus.
Sebastian melangkah menjauh, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan koridor klasik rumah itu. Lorong panjang dihiasi lukisan-lukisan tua keluarga Phillips.
Langkahnya terdengar lembut di antara bayang cahaya yang jatuh dari jendela tinggi berlapis vitraille.
Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Kareesa bersandar di sana. Menghela napas panjang, bukan karena lelah, tapi karena hatinya begitu berat menanggung perasaan yang salah arah.
***
Satu jam kemudian.
Kareesa telah berganti gaun dress krem muda dengan potongan simpel namun anggun, cocok untuk berjalan santai menyusuri jalanan Paris.
Rambutnya digelung setengah, anting mutiara kecil menghias telinganya.
Dari kaca jendela, langit Paris tampak biru, membentang seperti lukisan tak berbingkai.
Sebastian menunggu di ruang tamu.
Jasnya santai tapi tetap berkelas, gaya bangsawan muda yang santun.
Saat Kareesa muncul, pria itu sontak berdiri. Matanya berbinar sebentar, lalu senyumnya merekah.
“Kamu cantik sekali hari ini,” ujarnya dengan tulus.
Kareesa hanya tersenyum.
“Terima kasih, Sebastian.”
Mereka lalu menuju ke ruangan utama, di mana Lady Elisabeth dan Tuan Lionel tengah menikmati teh sore sambil membaca koran.
“Kami pamit keluar sebentar,” ujar Sebastian sopan.
“Oh, kalian jadinya mau ke mana?” tanya Nyonya Philips sambil tersenyum.
“Keliling sekitar LatinQuarter, mungkin sampai LuxembourgGarden,” jawab Sebastian. “Perjalanan santai aja.”
Lady Elisabeth Phillips menoleh, anggun seperti biasa. “Berhati-hatilah di luar. Paris hari ini agak ramai karena festival musik.”
“Jangan lupa mampir ke RueBonaparte, Sebastian,” kata Tuan Lionel sambil melipat surat kabar. “Ada pameran lukisan kolega Papa di sana.”
“Baik, Papa,” jawab Sebastian.
Sementara itu Kareesa berdiri tenang di samping Sebastian, tangannya menggenggam tas mungil.
Tapi dalam hatinya... ribuan detik terasa berdentum. Ia tidak tahu, apa hari ini akan memperbaiki rasa bersalahnya, atau justru memperdalam dilema yang belum sempat ia uraikan.
Nyonya Philips langsung berdiri dan memeluk Kareesa sebentar,
“Have fun, darling. And don't let this rascal make you walk too much!”
(Bersenang-senanglah, sayang. Dan jangan biarkan bajingan ini membuatmu berjalan terlalu jauh!)
Kareesa tersenyum kaku, mengangguk sopan. Sebastian hanya mengangkat alis dengan ekspresi geli.
Setelah berpamitan dan mencium pipi Lady Elisabeth, mereka pun melangkah keluar dari Apartemen bangsawan itu.
Mobil klasik keluarga Phillips sudah menanti di lobi depan dekat gerbang besi hitam yang menjulang elegan.
Sopir membuka pintu dengan hormat.
Dari balik kaca mobil yang melaju menuju pusat kota, Kareesa hanya menatap keluar.
Trotoar Paris yang ramai, bangunan batu putih khas Haussmann, bunga-bunga di jendela apartemen tua...
Semuanya terlihat indah.
Tapi hatinya... justru menanti sesuatu yang jauh lebih rumit.
Wajah yang belum dikenalnya.
Nama yang belum ia ketahui.
Tapi ciumannya, masih membekas hingga hari ini.