Tenang saja, aku tak perlu mendoakan apapun.
Waktu lebih lihai menulis peran,
dan giliranmu akan tiba tanpa undangan.
Kau akan tahu,
bagaimana rasanya menjadi abu yang dihiraukan, diabaikan di ujung pelupuk.
Kau akan mengunyah pahitnya menunggu.
Seperti getah yang lengket dalam kerongkongan.
Kelak, kau akan memanggil seseorang dengan suara yang gemetar seperti dedaunan kering.
Kau akan menunggu pintu diketuk, namun hanya disuguhi lorong-lorong gema yang menertawakanmu dari sela-sela yang retak.
Kau akan merasakan, bagaimana menusuknya ketika jarum tergantung seperti anyaman sarang laba-laba.
Aku tak perlu menjadi kutukan, karena langkahmu adalah tali yang akan melingkari lehermu sendiri.
Kau akan mengemis pada angin,
seperti dahulu aku mengemis pada bayangmu.
Tapi angin itu akan mencibir,
Seperti bibirmu yang dulu mengusirku seperti petir.
Kau akan merasakan gigitan getir
dari hari-hari yang menelantarkanmu,
Seperti aku yang dulu kau tinggal dengan sisa-sisa udara sesak.
Dan tepat pada saat itu,
Kau akan tahu bahwa pahit yang kautanam dalam jalanku, telah tumbuh subur di ladangmu sendiri.