Dia membangun istana
dari batu-batu bisu yang ia taburi pujian.
Pintu-pintunya megah,
namun hanya terbuka dari dalam.
Ia bersahabat karib dengan munafik, karena suara sendiri selalu tahu cara setuju.
Dewa adalah saingan yang ingin sekali ia kalahkan.
Cermin yang kotor berpuluh tahun pun diangkat jadi penasihat, sebab tak pernah menampik pandangan yang ia beri.
Ketika pagi datang membawa warta, ia menyuruhnya menunggu.
Karena jadwalnya lebih penting dari hal yang belum ia ketahui.
Tangga keropos mengarah ke ruang paling atas.
Dia membangunnya dari pengakuan-pengakuan kecil, yang hanya merasa benar menggunakan dalil sebagai pembenaran.
Tapi ia tak sadar bahwa langit punya kesadaran.
Yang ia anggap, keberadaan orang lain hanyalah problema
dalam simfoni pengisi hidupnya.
Mereka boleh bicara, asal tak mengganggu argumentasinya.
Saat malam akhirnya menutup kelopak hari, ia cuma memeluk dirinya sendiri.
Yang sebenar-benarnya ia tak pernah memberi ruang bagi siapa pun untuk tinggal.
Saat purnama benderang, aku makin menyadari bahwa rumah ini memang terbuat dari batu sebagai penguasanya.
Yang memegang teguh tongkat kuasa tanpa benar-benar mengayomi.