Dia menulis ulang setiap hari dengan pena yang hanya mengerti satu warna.
Bila kenyataan berbelok, ia luruskan dengan logika bikinannya sendiri.
Alarm berdering, namun orang itu memilih waktu yang tak berjalan.
"Jika aku tak melangkah, berarti dunia yang harus mendekat." -katanya.
Peta dunia sanggup ia lipat, diselipkan dalam saku egonya.
Biar jarak tak perlu ditempuh, cukuplah semua datang kepadanya dalam bentuk pengakuan atau perizinan.
Ia mengumpat dengan kata "cukup" lalu menusuknya dari belakang.
karena tak ada yang benar-benar cukup bagi seseorang yang memulai segalanya tanpa benar-benar bersyukur.
Saat bayangan mulai menjauh,
ia menuduh cahaya telah berubah arah.
Memfitnah terangnya yang telah memusuhinya.
Padahal hanya ia yang tak pernah berpikir baik pada kesalahannya sendiri.
Ia menatap dirinya dalam ribuan huruf yang ia tata sendiri dan menyebutnya sebagai pengetahuan.
Padahal setiap paragraf
hanya pengulangan suara yang ia keluhkan tanpa meneliti dengan rinci makna bersyukur yang ia umbar dalam fitnah.