Sesungguhnya, aku tak pernah belajar bercumbu dengan tunggu.
Aku bahkan tak pernah menghafal rasa getir dari menggantungkan diri pada janji.
Kau yang berkeliaran bagai ilalang gatal, menjanjikan bahagia pada setiap rerumputan, padahal kau sendiri tak tahu caranya berakar.
Serupa gentong kosong yang memekik nyaring.
Berisik, tapi hampa.
Mengundang aku duduk, lalu meninggalkanku bersisian dengan udara semu.
Kau menjual angin palsu bertabur tawa di pasar-pasar riang.
Sementara harap yang kautinggalkan menunggumu membatu jadi nisan.
Kau mengira aku mendekap harapan seperti bocah yang mengemis permen?
Kau sangka aku menadah telapak pada hujan yang tak pernah berniat jatuh?
Betapa jenaka, kau menari di atas ladang dustamu sendiri, dan merasa paling benar di atapnya.
Sementara, aku hanya singgasana yang amat berdebu, yang pernah kau duduki sebentar, lalu kau tinggalkan ketika kau menemukan pesta yang lebih gaduh.
Jangan lagi kau lempar serpihan manis padaku, aku sudah kenyang menyantap racun yang kau gula-gulai.
Bersenang-senanglah dalam pesta yang tak mengenalmu rinci sepertiku.
Aku sudah terlalu lapuk untuk terseret dalam komedi murahanmu.
Sungguh, kau tak pernah tahu rasanya menjadi orang yang menunggu pintu dibuka, tapi didiamkan seperti tikus dalam perangkap.
Kau belum pernah dipaksa berharap sampai lidahmu kelu, sampai detakmu jemu, sampai kau sendiri jadi asing atas waktumu sendiri.