Pergilah.
Bawa serta sisa-sisa omong kosong yang masih kau peluk.
Aku sudah membakar lapik harap, dan menggantinya dengan dingin yang sudah kutandai sebagai dusta.
Aku menguliti kecewa seperti hewan kurban, dan menertawakan rancangmu yang picik.
Karena sesungguhnya kau tak sampai otak mengecap pahitnya sebuah tunggu.
Yang tak pernah kau sentuh dengan sebenar-benarnya hasrat.
Kau hanyalah pendusta yang mengira bumi akan tunduk pada pijakmu yang semena-mena.
Sesungguhnya, kau tak pernah meneguk getirnya berharap.
Bagimu harap hanyalah wacana, yang kau mainkan seperti gasing dan kautinggalkan hingga berputar sendiri.
Kau tak pernah merasakan sembilu menunggu, tak pernah mengunyah getir saat langit membisu.
Karena kau tak pernah bernaung di bawah tatapan yang menanti.
Engkau hanya piawai menanamkan umpan, mengikat aku pada gurawan yang kaubuat-buat, lalu kau beringsut, menari di halaman pesta seraya meludahi janji yang kau sepakati.
Kau,
adalah peniup bual yang memintal janji dari helaian debu, menyodorkan angan serupa gelas retak.
Dan mengira aku haus pada bayang semu harapan.
Aku, hanya lampit usang di serambi, yang kauberi jejak semu, lalu kausurutkan seenaknya.
Seperti air laut yang kaubiarkan menguap tanpa kabar.
Jangan kautuding aku sebagai penggeliat harap.
Aku tak akan lagi mengakrabi girisnya menunggu dari liurmu yang merasa tak berdosa.